Beranda » Struktur Pemerintahaan Kerajaan Aceh

Struktur Pemerintahaan Kerajaan Aceh






Pada saat Aceh masih sebagai sebuah kerajaan, lokasi kerajaan ini berada di wilayah Kabupaten Aceh Besar sekarang yang dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk (Aceh Besar). Untuk nama Aceh Rayeuk, ada juga orang yang menyebutnya dengan nama Aceh Lhee Sagoe (Aceh tiga Sagi). Penyebutan ini berhubungan erat dengan situasi daerah itu yang mencakup tiga sagi, yaitu disebut Sago (Sagi) XXV Mukim, Sago (Sagi) XXVI Mukim, dan Sago (Sagi) XXII Mukim.


Selain itu, ada juga yang menyebut dengan istilah Aceh Inti (Aceh proper) [3], yang maksudnya Aceh sebenarnya. Disebut demikian karena Aceh Rayeuk inilah pada mulanya yang menjadi inti Kerajaan Aceh. Dan juga karena disitulah terletak ibukota kerajaannya4, yang bernama Banda Aceh atau lengkapnya Banda Aceh Darussalam5, yang oleh orang-orang Aceh lazim disebut pula dengan nama Aceh saja.


1. Tentang Nama dan Perkembangan Kerajaan


Dari nama asalnya Aceh dan kapan istilah ini mulai digunakan merupakan suatu hal yang sulit untuk dipastikan. Orang-orang asing yang pernah datang ke Aceh, menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Orang Arab menyebut Asyi, orang Portugis menyebut Achem atau Achen, orang Belanda menggunakan istilah Acheen atau Achin, orang Prancis mengatakan Achen atau Acheh. Di dalam naskah-naskah Melayu lama seperti kitab Adat Aceh6, Hikayat Aceh [7], dan kitab Bustanus Salatin [8], serta pada salah satu jenis mata uang dari Kerajaan Aceh yang disebut Keuh [9] (sejenis coin yang terbuat dari timah), menyebutnya nama Aceh sebagaimana yang disebut sendiri oleh orang-orang Aceh.


Mula muncul dan berkembangnya Aceh sebagai sebuah kerajaan, berhubungan erat dengan penunjukkan kota Malaka oleh bangsa Portugis pada tahun 1511. Sebelum diduduki oleh Portugis, Malaka terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan pusat penyebaran agama Islam yang di- lakukan oleh para pedagang Islam yang berasal dari negara-negara Timur Tengah dan Gujarat (India). Penaklukan kota Malaka dimaksudkan Portugis di antaranya untuk menghancurkan perdagangan orang-orang Islam di sana.[10]


Setelah berhasil, pihak Portugis tidak memperkenankan lagi pedagang-pedagang Islam ini datang ke kota Malaka. Akibat- nya, timbul kegoncangan dalam jaringan perdagangan di kawasan Selat Malaka para pedagang Islam terpaksa menyingkir dari sana, mencari tempat-tempat lain. Salah satu sasaran mereka, yaitu Aceh. Dengan berdatangannya para pedagang Islam ini, Aceh mulai berkembang sebagai tempat per-dagangan. Selanjutnya oleh para saudagar Islam ini, Aceh digunakan sebagi pengganti Malaka yang direbut oleh bangsa Portugis.


Menurut R.A. Hoesein Djajadiningrat, Kerajaan Aceh pertama kali berdiri pada tahun 1514, dengan rajanya yang pertama Ali Mughayat Syah, yang juga sebagai pendiri kerajaan ini.[11] Selanjutnya dalam perkembangan sejarahnya, setelah sekitar satu abad berdiri atau pada awal abad ke XVII, kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).


Kejayaan ini disebabkan tindakan-tindakan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dijalankan oleh Sultan ini dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ekonomi, bidang politik, bidang sosial, dan bidang agama.[12] Berikut ini digambarkan bagaimana struktur politik Kerajaan Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda hingga berakhirnya kesultanan Aceh pada awal abad ke XX.


2. Struktur Pemerintahan Kerajaan Aceh



Saat Sultan Iskandar Muda me- merintah, bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di Aceh adalah yang disebut dalam istilah Aceh Gampong atau dalam istilah Melayu Kampung. Sebuah Gampong terdiri atas kelompok-kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain. Pimpinan gampong disebut Geucik atau Keuchik [13], yang dibantu oleh seorang yang mahir dalam masalah keagamaan, dengan sebutan Teungku Meunasah.


Selain itu, dalam sebuah dalam sebuah Gampong terdapat pula unsur-unsur pimpinan lainnya seperti yang dinamakan Waki (wakil) yang merupakan wakil dari Keuchik, serta juga yang disebut Ureung Tuha (orang tua). Mereka [14] yang tersebut terakhir adalah golongan orang-orang tua kampung yang disegani dan ber-pengalaman dalam kampungnya. Menurut tradisi jumlah mereka ada empat orang yang dinamakan Tuha Peut [15] dan ada juga yang delapan orang yang disebut Tuha Lapan.


Bentuk teritorial yang lebih besar lagi dari gampong yaitu Mukim. Mukim ini merupakan gabungan dari beberapa buah gampong yang letaknya berdekatan dan para penduduknya melakukan sembahyang bersama pada setiap hari Jumat di sebuah masjid [16]. Pimpinan Mukim disebut sebagai Imum Mukim. Perkataan Imum ini berasal dari bahasa Arab, artinya Imam (orang yang harus di-ikuti). Imum Mukim inilah yang bertindak sebagai pemimpin sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah masjid.[17]


Pada mula dibentuk setiap mukim diharuskan sekurang-kurangnya mempunyai 1000 orang laki-laki yang dapat memegang senjata.[18] Hal ini tentunya dimaksudkan untuk tujuan politis, yaitu bila terjadi peperangan dengan pihak luar agar mudah menghimpun tenaga-tenaga tempur. Dalam perkembangannya fungsi Imum Mukim menjadi kepala pemerintahan dari sebuah Mukim. Dialah yang mengkoordinir kepala-kepala kampung atau Keuchik-Keuchik. Dengan berubahnya fungsi Imum Mukim berubah pula nama panggilannya, yakni menjadi Kepala Mukim. Untuk pengganti sebuah imam sembahyang pada setiap hari Jum’at di sebuah masjid, diserahkan kepada orang lain yang disebut Imuem Mesjid.


Di wilayah Aceh Rayeuk (Kabupaten Aceh Besar sekarang), terdapat suatu bentuk pemerintahan yang agak unik, yaitu yang disebut dengan nama Sagoe atau Sagi. Keseluruhan wilayah Aceh Rayeuk tergabung ke dalam tiga buah Sagi ini, yang dapat dikatakan sebagai tiga buah federasi. Ketiga buah sagoe atau Sagi tersebut masing-masing dinamakan :
1. Sagi XXII Mukim,
2. Sagi XXV Mukim, dan
3. Sagi XXVI Mukim. [19]
Penamaan ini erat kaitannya dengan jumlah mukim yang terdapat pada masing-masing Sagi. Artinya pada setiap sagi jumlah mukim yang terdapat di bawahnya sesuai dengan nama Sagi yang bersangkutan. Misalnya, Sagi XXVI Mukim, ini berarti bahwa di bawah Sagi ini terdapat XXVI buah Mukim, demikian juga untuk kedua Sagi lainnya.[20]



Tiap-tiap Sagi di atas, diperintah oleh seorang yang disebut dengan Panglima Sagoe [21] atau Panglima Sagi, secara turun-temurun. Mereka juga diberi gelar Uleebalang. Mereka sangat berkuasa di daerahnya dan pengangkatannya sebagai Panglima Sagi disyahkan oleh Sultan Aceh dengan pemberian suatu sarakata yang dibubuhi cap stempel Kerajaan Aceh yang dikenal dengan nama Cap Sikureung (cap sembilan).[22]


Di luar dari ketiga Sagi atau federasi tersebut, di Aceh Rayeuk masih terdapat unit-unit pemerintahan yang berdiri sendiri yang disebut dengan Mukim-mukim yang diikuti nama di belakangnya (nama tempat). Pimpinan pemerintahan di Mukim-mukim ini sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu Kepala Mukim yang derajat mereka juga sama dengan Uleebalang seperti Panglima Sagi. Namun luas wilayah teritorial mereka jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Sagi.


Kepala pemerintahan Mukim ini berada langsung di bawah pengawasan Sultan Aceh, jadi tidak di bawah Panglima Sagi dari ketiga federasi yang telah disebutkan di atas. Adapun nama-nama dari Mukim-mukim Masjid Raya yang terletak di sebelah kiri Sungai Aceh, Mukim Lueng Bata, Mukim Pagar Aye, Mukim Lam Sayun, dan Mukim Meuraksa.[23]


Di luar dari mukim-mukim yang berdiri sendiri ini, di Aceh Rayeuk masih terdapat sejumlah Mukim, tetapi Kepala Mukimnya tunduk di bawah Kepala Sagi. Jadi Mukim-mukim ini berada di bawah dari ketiga Sagi yang telah disebutkan di atas.


Bentuk wilayah kerajaan lainnya yang terdapat di Aceh yaitu yang disebut Nangroe atau Negeri. Nangroe ini sebenarnya merupakan daerah takluk Kerajaan Aceh dan berlokasi di luar Aceh Inti atau Aceh Rayeuk. Jumlahnya diperkirakan melebihi seratus dan menyebar di seluruh wilayah Aceh (Propinsi Daerah Istimewa Aceh sekarang).[24] Luas daerah dan jumlah penduduk serta potensi ekonomi dari masing-masing Nangroe tidak sama. Pimpinan Nangroe disebut Uleebalang [25], yang ditetapkan oleh adat secara turun-temurun.


Mereka menerima kekuasaan langsung dari Sultan Aceh, tetapi para Uleebalang ini merupakan Kepala Negeri atau raja-raja kecil yang sangat berkuasa di daerah mereka masing-masing. Namun sewaktu mereka memangku jabatan sebagai Uleebalang di daerahnya, mereka harus disyahkan pengangkatannya oleh Sultan Aceh. Surat Pengangkatan ini dinamakan Sarakata [26] yang dibubuhi stempel Kerajaan Aceh, Cap Sikureung [27], seperti telah disebutkan di atas. Surat pengangkatan, diberikan oleh Sultan Aceh kepada Uleebalang yang sanggup membayar dengan biaya yang jumlahnya di- tetapkan oleh Sultan. Setiap Uleebalang berusaha untuk mendapatkan Sarakata, karena ia merupakan status dari kekuasaannya.


Tugas Uleebalang [28] adalah memimpin Nangroenya dan mengkoordinir tenaga-tenaga tempur dari daerah kekuasaannya bila ada peperangan. Selain itu juga menjalankan perintah-perintah atau instruksi dari Sultan; menyediakan tentara atau perbekalan perang bila dibutuhkan oleh Sultan dan membayar upeti kepada Sultan. Namun demikian mereka masih merupakan pemimpin-pemimpin yang memonopoli kekuasaan di daerahnya.[29]


Dan masih tetap sebagai pemimpin yang merdeka dan bebas melakukan apa saja terhadap kawula yang berada di wilayahnya. Misalnya dalam hal pengadilan atau melaksanakan hukuman. Namun ketika kewibawaan Kesultanan Aceh masih kuat, Sultan memiliki hak istimewa atas wilayah Nangroe. Hak-hak ini hanya dimiliki oleh Sultan, sedangkan Uleebalang tidak. Dapat disebutkan misalnya hak untuk menghukum seseorang yang bersalah, hak untuk me- ngeluarkan mata uang,hak untuk membunyikan meriam pada waktu matahari terbenam, dan hak untuk mendapat panggilan dengan sebutan Daulat.[30]


Hak-hak ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengurangi kesewenang-wenangan para Uleebalang, terutama yang berhubungan dengan pemberian hukuman terhadap seorang yang bersalah. Namun ketika kewibawaan Sultan sudah melemah, terutama pada abad ke XIX dan awal abad XX (sesudah kesultanan Aceh tidak ada lagi).[31] Yang menetapkan hukuman terhadap seseorang yang bersalah di Nangroe-nangroe adalah para Uleebalang.



Dalam memimpin pemerintahan Nangroe, Uleebalang dibantu oleh pembantu-pembantunya seperti yang disebut dengan Banta, yaitu adik laki-laki atau saudara Uleebalang [32], yang kadang-kadang juga bertindak sebagai Uleebalang, bila yang bersangkutan berhalangan. Pembantu yang lainnya adalah yang disebut Kadhi atau Kali, yang membantu dalam hukom, yaitu yang dipandang mengerti mengenai hukum Islam. Selain itu, ada yang disebut Rakan yaitu sebagai pengawal Uleebalang [33], yang dapat diperintahnya untuk bertindak dengan tangan besi. Para Rakan yang terbaik dalam perang diberi gelar Panglima Perang, sedangkan pimpinan-pimpinan pasukan kecil yang tidak begitu trampil dalam peperangan diberi gelar pang.


Nangroe-nangroe tersebut di atas, pada umumnya berlokasi di pantai bagian timur dan pantai bagian barat Aceh. Di awahnya terdapat pula sejumlah mukim yang terdiri atas beberapa buah gampong atau yang disebut pula dengan istilah meunasah. Tetapi tidak semua nangroe mengenal lembaga mukim. Di wilayah pantai timur dan di pantai barat, tidak terdapat apa yang disebut mukim. Di beberapa nangroe bagian pantai Timur dan sebagian wilayah Kabupaten Aceh Utara sekarang, terdapat apa yang disebut dengan istilah Ulebalang Cut (Uleebalang kecil). Uleebalang Lapan (Uleebalang Delapan), dan Uleebalang Peut (Uleebalang Empat). Namun kedudukan dari bermacam jenis Uleebalang ini, berada di bawah.


Tingkat tertinggi dalam struktur pemerintahan Kerajaan Aceh adalah pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota kerajaan, yang dahulunya bernama Bandar Aceh Dar as Salam.[34] Kepala pemerintahan pusat adalah Sultan yang para kelompoknya bergelar Tuanku. Dalam mengendalikan pemerintahan Sultan dibantu oleh beberapa pembantu yang membawahi bidang masing-masing. Berdasarkan sebuah manuskrip (MS) [35], susunan pemerintahan pusat Kerajaan Aceh terdiri atas 24 lembaga atau jabatan yang diumpamakan dengan kementrian pada masa sekarang. Nama dari masing-masing lembaga tersebut adalah sebagai berikut:
1. Keurukon Katibul Muluk atau Sekretaris Raja
2. Rais Wazirat Addaulah atau Perdana Menteri
3. Wazirat Addaulah atau Menteri Negara
4. Wazirat al Akdham atau Menteri Agung
5. Wazirat al HArbiyah atau Menteri Peperangan
6. Wazirat al Haqqamiyah atau Menteri Kehakiman
7. Wazirat ad Daraham atau Menteri Keuangan
8. Wazirat ad Mizan atau Menteri Keadilan
9. Wazirat al Maarif atau Menteri Pendidikan
10.Wazirat al Khariziyah atau Menteri Luar Negeri
11. Wazirat ad Dakhilyyah atau Menteri Dalam Negeri
12. Wazirat al Auqaf atau Menteri Urusan Wakaf
13. Wazirat az Ziraaf atau Menteri Pertanian
14. Wazirat al Maliyyah atau Menteri urusan HArta
15. Wazirat al Muwashalat atau Menteri Perhubungan
16. Wazirat al asighal atau Menteri Urusan Kerja
17. As Syaikh al Islam Mufti Empat Syeik Kaabah
18. Qadli al Malik al Adil atau Qadi Raja Yang Adil
19. Wazir Tahakkum Muharrijlailan atau Ketua Pengurus Kesenian
20. Qadli Muadlam atau Qadhi/Jaksa Agung
21. Imam Bandar Darul Makmur Darussalam
22. Keuchik Muluk atau Keuchik Raja
23. Imam Muluk atau Imam Raja
24. Panglima Kenduri Muluk atau Ketua Urusan Kenduri Raja. [36]



Kedua puluh empat lembaga atau jabatan seperti disebutkan di atas, dipegang oleh oranga-orang tertentu yang di-angkat oleh Sultan Aceh. Selain jabatan-jabatan itu di Kerajaan Aceh, terdapat pula tiga buah badan atau lembaga lainnya yang fungsinya hampir dapat disamakan dengan lembaga legislatif sekarang. Lembaga ini turut mendampingi Sultan dalam melaksanakan tugasnya. Ketiga Lembaga ini adalah
1. Balairungsari, yaitu tempat bermufakat empat orang Uleebalang (Hulu Balang Empat) dan tujuh orang alim ulama, serta menteri-menteri Kerajaan Aceh.
2. Bale Gadeng, yaitu Tempat mufakat dari delapan orang Uleebalang dan tujuh orang alim ulama serta menteri-menteri Kerajaan Aceh, dan
3. Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu sebagai tempat mufakat wakil rakyat sebanyak tujuh puluh tiga orang yang datang dari tujuh puluh tiga mukim.[37] Jadi tiap-tiap mukim diwakili oleh satu orang.


Selain ketiga lembaga di atas, dalam sebuah naskah yang bernama “Kanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda”, disebut pula ada Balai Laksamana yaitu semacam markas angkatan perang, yang dikepalai oleh seseorang yang disebut Laksamana , yang tunduk atau berada di bawah Sultan. Selanjutnya ada pula yang disebut Balai Fardah, yang tugasnya memungut atau me-ngumpulkan Wase (Bea Cukai). Balai ini tunduk pada perintah Perdana Menteri. Disebutkan pula, dalam pemerintahan kerajaan, Sultan Aceh tunduk kepada Kanun.[38]


Demikian struktur Kerajaan Aceh hingga berdamainya Sultannya yang terakhir Sultan Mahmud Daud Syah dengan Belanda pada tahun 1903, yang merupakan awal berakhirnya Kerajaan Aceh. Karena setelah itu daerah ini diduduki oleh Belanda, hingga tahun 1942.



***


Catatan Akhir :

  • 1. ″Geography of Achin”, JSBRAS (1874), hal. 120.

  • 2. K.F.H. Van Langen, “De Inrichting van Het Atjehsche Staatsbestuur Onder het Sultanaat”, BKI V, deel III, (1888), hal. 383.

  • 3. Lihat Ibrahim Alfian, dalam “Emas, Kafir, dan Maut”, Nusantara No. 2, (Kuala Lumpur: Juli 1972), hal. 270.

  • 4. G.P. Tolson, “Acheh Commonly Called Achen”,JSBRAS V, (Singapore: 1880), hal. 12.


  • 5. Lihat Teuku Iskandar, “De Hikajat Atjeh”, VKI 26, (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1958), hal. 28.

  • 6. Telah pernah diterbitkan oleh G.W.J. Drewes dan P. Voorhoeve, (Reproduced in facsimile from a manuscript in the India Office Library), VKI 24 (1958).

  • 7. Telah dikaji oleh Teuku Iskandar untuk Disertasi, VKI 26 (‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoof), 1958.

  • 8. Lihat Nuruddin ar-Raniri, Bustanus Salatin, disusun oleh Teuku Iskandar, (Kuala Lumpur: Dewam Bahasa dan Pustaka), 1966.

  • 9. Lihat dalam K.F.H. van Langen, op.cit., hal. 431.

  • 10. Mengenai faktor-faktor yang mendorong bangsa Portugis untuk merebut kota Malaka,lihat misalnya dalam Sartono Kartodirdjo, “Religious and economic aspects of Portuguese-Indonesian relations”, Separata de STUDIA-REVISTA Quadrimestral No. 29, (Lisboa: April, 1970).


  • 11. R.A. Hoesein Djajadiningrat, “Critisch Overzicht van de in Maleische Werken Vervatte Gegevens Over de Geschiedenis van het Soeltanat Atjeh”, BKI 65 (1911), hal. 213.

  • 12. Mengenai tindakan dan kebijaksanaan yang dijalankan Sultan Iskandar Muda dalam bidang-bidang tersebut di atas, lihat misalnya dalam karya, Das Gupta, Arun Kumar, “Acheh ini Indonesian Trade and Politics 1600 – 1641″, Ph.D. Thesis, (unpublished, Cornell University, 1960). Juga dalam Rusdi Sufi, “Sultan Iskandar Muda”, Dari Sini Ia Bersemi, Banda Aceh: Panitia Penyelenggara Musabaqah Tilawatil Qur’an Tingkat Nasional ke 12, tahun 1981.

  • 13. J. Kreemer. Atjeh I, (Leiden: E.J. Brill, 1923), hal. 380.

  • 14. C. Snouck Hurgronje, De Atjehers I, (Leiden: E.J. Brill, 1893), hal. 87.


  • 15. Mengenai lembaga Toeha Peuet lihat misalnya dalam A.J. Vleer, “De Positie van den Toeha Peuet in het Atjehsche Staatsbestel”, Koloniale Studien 19, (1935), hal. 454 – 461.

  • 16. Lembaga Mukim ini pertama kali dibentuk pada masa Sultan Iskandar Muda. Lihat dalam, K.F.H. van Langen, op.cit., hal. 390.

  • 17. Th. W.Juynbol, “Atjeh”, The Encyclopaedia of Islam, Vol. I, (1960), hal. 74.

  • 18. K.F.H. van Langen, op.cit, hal. 391.

  • 19. Sagi ini diperkirakan pertama di-bentuk di Kerajaan Aceh di bawah pemerintahan Sultanah Nurul ‘Alam Syafiatuddin (1675 – 1677), lihat K.F.H. van Langen, ibid, hal. 392.


  • 20. Nama-nama sagi dan mukim yang berada di bawahnya beserta juga nama-nama pimpinannya (uleebalangnya).

  • 21. F.A. Liefrinck, “Enige Mededeelingen Omtrent den Tegen woordigen Toestand van Atjeh Proper”, TNAG V, (1881), hal. 47.

  • 22. Lihat dalam G.P. Rouffaer, “De Hindoestanche Oorsprong van het “Negenvoudig” Sultanszegel van Atjeh”, BKI 59, hal. 349 – 384.

  • 23. F.A. Liefrinck, op.cit., hal. 50.


  • 24Lihat Surat Gubernur Militer/sipil Aceh kepada Directeur van Binnenlandsch Bestuur 7 Desember 1912/ No. 421/5 Lihat Mailr. No. 847/13.

  • 25Secara harafiah Uleebalang artinya “Panglima Tertinggi”.

  • 26Lihat G.L. Tichelman, “een Atjehsche Sarakata” (Afschrift van een besluit van Sultan Iskandar Muda), TBG 73, (1933), hal. 368 – 373.

  • 27. G.P. Rouffaer, loc.cit.

  • 28. K.F.H. van Langen,op.cit, hal. 391.


  • 29. Lihat Mukti Ali, An Introduction to The Government of Achehs Sultanate. (Yogyakarta: Nida, 1970), hal. 16.

  • 30. R.A. Hoesein Djajadiningrat, op.cit, hal. 177.

  • 31. Sultan Aceh yang terakhir tidak ada lagi. Lihat Motie van Kol, Litt. C4 Kabinet.

  • 32. K.F.H. van Langen, Beknopt Alfabetisch Informatieboekje Betreffende Groot Atjehsche Personen en Aangeleheden. Kota Radja, 1897, hal. 16.

  • 33. James T. Siegel, The Rope of God. (Berkeley and Los Angeles, 1969), hal. 30.

  • 34. Teuku Iskandar, “De Hikayat Atjeh”, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut Voor Taal, Land en Volkenkunde (VKI) 26, (s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1958), hal. 28.

  • 35. MS ini terdapat di perpustakaan University Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur yang belum dikatalogkan. Ditulis dengan huruf Arab, berbahasa Arab/Melayu dan berangka tahun 1786 M.

  • 36. MS ini ditrankripsikan dan diartikan ke dalam bahasa Indonesia oleh Faisal M. Hasan,alumnus IAIN ar-Raniri, Darussalam Banda Aceh.


  • 37. MS, University Malaysia yang belum dikatalogkan, lihat juga “Kanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda”.

  • 38. Yang dimaksud dengan kanun adalah segala peraturan yang berhubungan dengan adat. Lihat R.A. Hoesein Djajadiningrat, Atjehsch Nederlandsch Woordenboek II, (Batavia: Landsdrukkerij, 1934), hal. 662.