Beranda » “Pidie” Terpanjang di Asia Tenggara

“Pidie” Terpanjang di Asia Tenggara



Img : serambinews


Beragam maksud dapat disimpulkan dari sebuah ujaran seorang tokoh politik yang dalam kesehariannya sudah terbiasa mengekspresikan hati dan pikirannya melalui puisi.


Nurdin Abdurrahman (almarhum) sebagai mantan Bupati Pidie dua periode era 1980-an adalah seorang sastrawan yang sejumlah puisinya terangkum dalam sejumlah antologi (periode 1970-1990-an) bersama penyair Aceh lainnya seperti Hasyim KS, Maskirbi, Hasbi Burman, Doel CP Allisyah, Ridwan Amran, Rosni Idham, Isnu Kembara dan lain-lain.


Agaknya daya bayang saya sontak meluncur kembali ke sebuah statemen Pak Nurdin, panggilan akrab Nurdin Abdurrahman di kalangan amtenar (pegawai negeri) dan kawula Kabupaten Pidie, baik semasih duduk sebagai bupati atau setelahnya, yang terdengar sangat bersahaja, spontan dan apa adanya, adalah dipicu oleh sebuah pesan singkat di rubrik SMS Pembaca Harian Aceh edisi Jumat (21/10).


Isi pesan pembaca yang diberi judul “Larangan Melepaskan Ternak” tersebut berbunyi, “Masyarakat resah dengan ternak yang mengganggu lingkungan. Bupati menghimbau penertiban ternak, DPR membahas. Masalah ternak yang mengganggu lingkungan melalui koran kurang berhasil.”



Pada umumnya para pemilik ternak tidak membaca koran, kan tidak tahu himbauan? Coba melalui camat dan kepala desa buat selebaran himbauan di seluruh desa, Insya Allah dapat dipahami para peternak. Citizen Journalism itu dikirim dari nomor +628527591xxxx.


Di situ sang pengirim tidak menuliskan alamat domisilinya. Berarti himbauannya berlaku luas ke semua daerah di Aceh. Saya sebagai orang Kabupaten Pidie mencerap pesan pembaca itu ditujukan lebih kepada kami sebagai kabupaten surplus beras; dengan pertanian sebagai background kehidupan; dan beternak hewan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dunia pertanian tradisional.


Karena, di Kabupaten Pidie, masalah lembu yang bersiliweran di jalan umum adalah suatu gejala yang sudah diterima sebagai sebuah kelumrahan namun di balik itu semua warga sadar, di samping sumber pengotoran lingkungan dengan ampas buangan, ternak yang lepas-bebas juga acap mengancam pengguna jalan.





Mungkin kami memang tak pernah “merasa” bahwa lembu kami yang tidur di jalan umum telah mengakibatkan pengendara Pulan terkapar dan lecet-lecet di aspal jalan kemarin malam.


Soalnya si Pulan yang terkena kecelakaan itu juga memelihara sejumlah lembu di desanya yang juga dilepaskan begitu saja dan tidur di jalanan seraya menyebabkan satu-dua kecelakaan lalulintas bagi si pengendara lain lagi. Pidie memang unik dari sisi ini.



Rasanya tak percaya, di Pidie, meski tidak tertulis, berlaku suatu kearifan di mana kalau ada kawanan lembu yang sedang tiduran di atas badan jalan di lintasan sebuah perkampungan, itu bukan lembunya yang harus dihalau. Tetapi pengguna jalannya yang harus hati-hati.


Fenomena itu jika layak diterjemahkan ke dalam sebuah peringatan, maka himbauan itu akan berbunyi, “Hati-hati membawa kendaraan. Lembu kami sedang tidur.”


Lantas, mungkin karena saking entah bagaimana, apa kata Pak Nurdin (dan kata-kata itu dikenang orang hingga hari ini), Pidie adalah kandang lembu terpanjang di Asia Tenggara

musmarwan abdullah