Beranda » Peristiwa Mandor Berdarah dalam Jejak Sejarah

Peristiwa Mandor Berdarah dalam Jejak Sejarah



13182993181915237275

Relief peristiwa mandor Google)


Masa penjajahan belanda dan jepang telah menorehkan banyak kenangan hitam dibenak para mereka yang pernah mengalami langsung peristiwa-peristiwa tersebut. Ada keasyikan tersendiri jika kita mendengar langsung penuturan dari para orang tua kita tersebut, karena fakta yang disampaikan lebih sahih. Seperti daerah-daerah lainnya diindonesia, demikian juga halnya Kalimantan barat juga pernah menjadi daerah jajahan belanda dan jepang.


Masa penjajahan belanda bermula pada tahun 1778 saat kolonialis belanda dari batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpola. Kolonial Belanda saat itu dan menempati daerah di seberang keraton kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal.



Kemudian masa pendudukan jepang bermula dari tahun 1942 dan berakhir pada tahun 1945 oleh bom atom hirosima-nagasaki. Namun pendudukan jepang dikalimantan barat telah menciptakan kerusakan berat dan sejarah paling kelam bagi Kalimantan barat. Kengerian dan terror luar biasa yang diukir penjajah jepang takkan muda terlupakan oleh generasi penerus terutama oleh keturunan mereka-mereka yang telah dihilangkan nyawanya dalam peristiwa mandor berdarah yang terjadi pada tahun 1943-1944 dan telah menelan nyawa kira-kira 21.037 jiwa yang terdata disebuah daerah bernama Mandor. Peristiwa tersebut adalah peristiwa yang sangat tragis karena pembunuhan yang dilakukan telah memotong satu generasi terbaik pada masa itu, orang-orang yang dianggap berbahaya bagi pendudukan jepang diculik, disungkup dan berakhir nyawanya diujung samurai jepang disebuah kebun karet mandor. Mulai dari keluarga kesultanan, para intelektual, pedagang, sampai orang biasa dari berbagai macam etnis menjadi korban keganasan jepang, bahkan saking banyaknya orang-orang yang harus eksekusi, dilahan pembantaian tersebut kemudian hari terdapat banyak patahan-patahan samurai. Jumlah korban sebenarnya sendiri belum pernah terungkap secara resmi. Namun dari berbagai kesaksian baik dari korban yang lolos maupun dari pelaku tentara jepang yang masih hidup menggambarkan peristiwa itu sebagai peristiwa paling berdarah yang pernah ada dibumi Kalimantan barat. Berikut kesaksian-kesaksian kemudian hari :


Tajima (Prajurit Kompetai Jepang)


“saya angkat bedil serta bayonet dengan tangen yang gemetar dan dengan tuntunan sumpah serapah sang letnan yang hampir histeris. saya jalan perlahan lahan ke pria cina yang berdiri dengan muka ketakutan di samping lubang mayat,liang kubur yang ia bantu ketika menggalinya. Dalam hati saya meminta maaf kepadanya,dengan mata dipejamkan dan sumpah serapah letnan di kuping saya,saya mnancapkan bayonet tersebut ke tubuh pria tersebut yang menjadi tegan itu. Waktu saya membuka mata saya,saya melihat pria itu jatuh perlahan ke liang kuburnya. Pembunuh kriminal,begitu saya memanggil diri saya”



Takahashi



“Saya ingat dan masih punya catatan tentang jumlah korban yang tertangkap ataupun terbunuh secara masal pada sekitar bulan Juni 1944, yaitu 21.037 orang. Tapi saya kurang mengetahui dengan pasti apakah semua tawanan itu dibunuh di daerah Mandor. Akan tetapi tentang jumlah korban tersebut pernah tercatat dalam sebuah dokumen perang yang tersimpan di museum di Jepang,” ucap Kiyotada Takahashi.




Lim Bak Djue atau Djuanda Rimbawidjaja.



“Dari orang Tionghoa yang menjadi korban Jepang, keluarga kami paling banyak,” ujarnya. Tak tanggung-tanggung, 8 anggota keluarga besarnya dibantai tentara Jepang masa itu.



Sultan Syarif Abubakar

Sejak awal April, pemerintah Jepang di Pontianak mendengar isu akan adanya pemberontakan. Suasana kota Pontianak pun menjadi tegang. Rupanya ada yang memanfaatkan situasi itu untuk memancing di air keruh, tiba-tiba Jepang mencurigai keluarga Sultan Muhammad Alkadrie yang akan menjadi otak pemberontakan.


Hari itu ribuan balatentara Jepang mengadakan operasi kilat penangkapan orang-orang yang dicurigai. Dengan membabi buta setiap orang yang dianggap mempunyai intelektualitas –terutama para ulama—ditangkapi. Sultan Muhammad sendiri bersama para punggawanya “dijemput” paksa balatentara Jepang dari istananya.



Dengan disaksikan istri, anak cucu, punggawa dan sebagian rakyatnya, raja yang ahli ibadah itu dirantai dan kepalanya ditutupi kain hitam, sebelum dibawa pergi. Yang mengharukan, sebelum dibawa pergi Sultan Muhammad Alkadrie memutar-mutar tasbih di jari telunjuknya seraya bertakbir.




Rombongan pembesar kerajaan lalu dibawa ke depan markas Jepang di sisi lain sungai Kapuas (sekarang menjadi markas Korem). Di tempat itu satu persatu kepala mereka dipenggal, kemudian dimasukkan ke truk dan dibawa pergi entah kemana. Beruntung, tujuh bulan kemudian –setelah Jepang sudah angkat kaki– jasad Sultan Muhammad Alkadrie berhasil ditemukan di Krekot. Penemuan itu sendiri berkat laporan salah seorang penggali lubang makam yang berhasil lolos dari pembantaian serdadu Jepang.



Demikian peristiwa itu kemudian diperingati sebagai peristiwa mandor setiap tanggal 28 juni menjadi hari berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat. Adapun nama-nama yang menjadi korban antara lain :



Setidaknya ada 48 nama korban yang dimuat Borneo Sinbun hari itu, lengkap dengan keterangan umur, suku, jabatan atau pekerjaan. Mereka adalah JE Pattiasina, Syarif Muhammad Alkadri, Pangeran Adipati, Pangeran Agung, Ng Nyiap Soen, Lumban Pea, dr Rubini, Kei Liang Kie, Ng Nyiap Kan, Panangian Harahap, Noto Soedjono, FJ Loway Paath, CW Octavianus Lucas, Ong Tjoe Kie, Oeray Alioeddin, Gusti Saoenan, Mohammad Ibrahim Tsafioeddin, Sawon Wongso Atmodjo, Abdul Samad, dr Soenaryo Martowardoyo, M Yatim, Rd Mas Soediyono, Nasaruddin, Soedarmadi, Tamboenan, Thji Boen Khe, Nasroen St Pangeran, E Londok Kawengian, WFM Tewu, Wagimin bin Wonsosemito, Ng Loeng Khoi, Theng Swa Teng, dr RM Ahmad Diponegoro, dr Ismail, Ahmad Maidin, Amaliah Rubini (istri dr Rubini), Nurlela Panangian Harahap (istri Panangian), Tengkoe Idris, Goesti Mesir, Syarif Saleh, Gusti A Hamid, Ade M Arief, Goesti M Kelip, Goesti Djafar, Rd Abdulbahri Danoeperdana, M Taoefik, AFP Lantang, dan Rd Nalaprana. (sumber : Catatan Syafaruddin Usman MHD dalam Harian Equator).


Mengutip kalimat bapak Proklamator kita “ Jasmerah” jangan sekali-sekali melupakan sejarah, hendaknya semua peristiwa yang telah terjadi dimasa lalu baik atau buruk menjadi pelajaran berharga bagi kita generasi ini, bahwa kadang keserakahan manusia membuat kita menjadi penindas bagi golongan lain, semua hal kejam yang bisa dilakukan manusia ternyata kadang hanya bermuara dari satu motif yaitu motif kekuasaan terhadap sumber-sumber ekonomi yang penting, kemudian menjadi tindakan politis yang membuat orang lain menjadi budak bagi kepentingan kita. Pertanyaannya, dimanakah posisi Negara kita saat ini?

Ninaninut