Beranda » Mengenang Kembali Jenderal Soedirman

Mengenang Kembali Jenderal Soedirman



Jenderal Soedirman adalah sosok jenderal yang terkenal dengan rute gerilya yang telah dilakukannya berikut anak buahnya untuk membangun konsolidasi nasional mempertahankan NKRI pasca Agresi Militer Belanda II.

Rute gerilya yang berawal dari rumah Jenderal Soedirman yang terdapat di Jalan Bintaran Wetan no.3 Yogyakarta, yang sekarang menjadi Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman melewati jalur selatan Parangtritis. lalu Gunung Kidul melalui Kecamatan Purwosari, Panggang, hingga Playen lalu Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek, Tulngagung hingga Kediri. Dimana Jenderal Soedirman membakar semangat rakyat dan konsolidasi dengan smua anak buahnya dalam keadaan sakit dan harus ditandu.
13198870612108919363

Mengenang dan menjejak kembali perjuangan Jenderal Soedirman beserta anak buahnya dalam mempertahankan kemerdekaan yang nyaris terenggut oleh Belanda melalui Agresi Militer II adalah dengan mengunjungi Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman yang beralamat di Jalan Bintaran Wetan no.3 Yogyakarta . Sasmitaloka dalam bahasa Jawa berarti tempat untuk mengingat, mengenang. Museum ini merupakan tempat untuk mengenang pengabdian dan pengorbanan dari Panglima Besar Jenderal Sudirman.


Hari ini, Sabtu, 29/10/2011 adalah perjalanan saya untuk merekam jejak seorang Jenderal besar yang telah mengabdikan hidupnya walaupun sakit tidak menjadikan penghalang untuk melakukan perang gerilya agar rakyat tetap mau berjuang membela NKRI dari ancaman berbagai pihak yang ingin menguasainya lagi kala itu. Tentunya hal ini bukan suatu hal yang biasa tetapi luar biasa. Komitmen, konsistensi, mengobarkan semangat dan melawan keletihan adalah potret akan karakter seorang pemimpin yang kita butuhkan sepanjang masa.


Berikut adalah petikan dari pernyataan Jenderal Soedirman yang saya temukan di Dalam Museum Sasmitaloka yang terdapat di ruang depan ketika kita masuk di gedung museum;


Anak-anakku, Tentara Indonesia, kamu bukanlah serdadu sewaan, tetapi prajurit yang berideologi, yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran tanah airmu. Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan suatu negara yang didirikan di atas timbunan runtuhan ribuan jiwa harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia, siapapun juga” (Panglima Besar Jenderal Sudirman).



Sebuah pembakar semangat dan amanah yang hendaknya harus dipegang oleh kita semua yang terikat sebagai citizenship Indonesia.


Jenderal Soedirman dilahirkan di Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Karisidenan Banyumas, pada hari senin pon tanggal 24 Januari 1916. Ayahnya Karsid Kartawiraji dan Siyem, ibu yang melahirkan sang jabang bayi memberikannya nama Sudirman. Sedangkan ayah angkatnya Raden Cokro Sunaryo menambahkan nama Raden di depan nama Sudirman.



13198972921223478759

Jenderal Soedirman.

Mendapatkan pendidikan formal di Taman Siswa, lalu melanjutkan pendidikan di HIK Muhammadiyah Solo. Pada tahun 1934 Raden Sudirman yang juga aktif dalam Organisasi Kepanduan Islam Hizbul Wathon, menjadi Kepala Sekolah Dasar Muhammadiyah di Cilacap. Ketika menjadi Kepala Sekolah, beliau bersikap terbuka, mau mendengarkan pendapat orang lain serta selalu siap memberi jalan pemecahan terhadap setiap masalah yang timbul di kalangan para guru. Selain menjadi Kepala Sekolah, beliau juga menjadi tenaga pengajar di Sekolah Menengah Muhammadiyah Cilacap.


Awal Karir militer beliau ketika mengikuti latihan perwira tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Selesai mengikuti latihan, beliau diangkat menjadi Daidancho (Komandan Daidan setara Batalyon) di Banyumas. Pasca Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, atas dedikasinya beliau diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel). Lalu pada tanggal 12 Nopember 1945, beliau terpilih menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan dilantik pada tanggal 18 Desember 1945, dilantik oleh Presiden Soekarno.



Perjalanan Jenderal Soedirman untuk menempati posisi tertinggi di militer dilewati dengan banyak peperangan. Mulai dari perang kemerdekaan melawan Jepang hingga mendesak mundur pasukan Sekutu ke Semarang pada tanggal 15 Desember 1945 dari Ambarawa yang terkenal dengan peristiwa Palagan Ambarawa. Setelah menjabat Panglima Besar TNI, Jenderal Soedirman tidak langsung diam berpangku tangan. Meski dalam keadaan sakit paru-paru dan harus ditandu oleh bawahannya, Beliau tetap bergerilya melawan Belanda. Mulai dari Agresi Militer I hingga mengatur taktik perang pada Agresi Militer II yang dilakukannya dengan berpindah-pindah wilayah menempuh perjalanan sejauh lebih dari 1000 km selama enam bulan dan berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Roem Royen. Panglima Besar ini akhirnya kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.



1319897444188250425

Museum Sasmitaloka, Foto doc. Pribadi




Sejarah Museum Sasmitaloka berawal dari gedung yang dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1890. Awalnya bangunan bersejarah ini diperuntukkan bagi pejabat keuangan Pura Paku Alam VII, Tuan Winschenk. Pada masa penjajahan Jepang bangunan dikosongkan dan barang-barangnya disita. Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, dipakai sebagai Markas Kompi Tukul dari batalion Suharto. Sejak tanggal 18 Desember 1945 sampai 19 Desember 1948, menjadi kediaman resmi Jenderal Soedirman setelah menjadi Panglima Tertinggi TKR. Selanjutnya saat Agresi Belanda II digunakan oleh Belanda sebagai Markas IVG Brigade T dan setelah kedaulatan Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949, berturut-turut digunakan sebagai kantor Komando Militer Kota Yogyakarta, kemudian dipakai untuk asrama Resimen Infantri XIII dan penderita cacat (invalid). Selanjutnya pada tanggal 17 Juni 1968 dipakai untuk Museum Pusat Angkatan Darat, sebelum akhirnya diresmikan sebagai Museum Sasmitaloka Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Sudirman pada tanggal 30 Agustus 1982.


1319897818960889364

Benda Bersejarah di dalam museum. Foto doc.pribadi




Pada saat menjejak di museum sasmitaloka, kita akan banyak melihat koleksi benda-benda bersejarah baik yang bersifat pribadi keluarga Jenderal Soedirman maupun benda-benda dari kegiatan militer pada era tersebut.


Ciri khas bangunan kuno yang masih tetap dipertahankan dirawat dengan baik. Mulai perlengkapan rumah, meja-kursi-tempat tidur-almari serta perlengkapan rumah tangga lainnya. Pakaian kebesaran Jenderal Soedirman hingga tandu yang dipergunakan semasa perang gerilya. Peralatan bersenjata dan tempat markas militer TNI AD ketika menyusun strategi peperangan. Selanjutnya ketika selesai menyusuri bangunan induk, pengunjung bisa melihat ke bangunan lainnya dimana kita dapat melihat diorama perjalanan gerilya Jenderal Soedirman.




Anyway, dengan mengunjungi dan mengenang kembali Jenderal Soedirman di museum Sasmitaloka adalah perjalanan yang memberikan buah kesadaran bagi kita agar tidak menjadi penerus dan generasi yang cengeng akan sebuah makna dan konsekuensi atas perjuangan.


Jenderal Soedirman telah memberikan contoh perjuangan yang bersahaja di jamannya. Dan bagaimanakah dengan perjuangan kita, sebagai warga negara yang tinggal menikmati dari buah penderitaannya. Dan semoga perjalanan menjejak di museum Sasmitaloka adalah inspirasi untuk tidak letih berkarya bagi kehidupan.


13198979262114241340

Menapak di museum sasmitaloka foto doc. pribadi



Adapun untuk mengunjungi museum Sasmitaloka aksesnya sangatlah mudah, Bisa ditempuh dengan berbagai moda transportasi terutama sangat mudah aksesnya bila mengunjunginya dengan menggunakan transportasi publik, terletak di tepi jalan raya.

Berikut informasi umum untuk mengunjungi Museum Sasmitaloka:


Hari Senin s/d Kamis: Pukul 08.00 - 14.00



Hari Sabtu dan Minggu: Tutup, akan dibuka bila mengajukan permohonan atau surat proposal kunjungan ke sekretariat museum sasmitaloka.

Hari Besar: Tutup

Biaya Masuk: Sukarela

Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman is recommended place to visit!

Cheers!

Yogyakarta, 29 Oktober 2011

Sari

Bibliography:

http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/museum-and-monument/sasmitaloka/

Sari Oktafiana