Beranda » Mengenal Sejarah Gawai Dayak di Kalbar

Mengenal Sejarah Gawai Dayak di Kalbar



Oleh : Herman Ivo

A. Pengantar
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam gawai, selain acara inti yakni nyangahathn (pembacaan mantra), juga ditampilkan berbagai bentuk budaya tradisional seperti berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Gawai Dayak, menjadikannya sebagai event yang eksotis di tengah masyarakat perkotaan yang modern.

Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang diselenggarakan pertama kalinya oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda) pada tahun 1986. Perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat upacara syukuran kepada Jubata yang dilaksanakan masyarakat Dayak Kalbar setiap tahun setelah masa panen. Upacara adat syukuran sehabis panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut Maka‘ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutnya dengan Dange.

Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan upacara pascapanen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketimanggungan. Acaranya pun hanya terbatas pada nyangahathn (pelantunan doa/mantra) dan saling kunjung dengan suguhan utamanya seperti: salikat/poe‘ (lemang/pulut dalam bambu), tumpi‘ (cucur), bontokng (nasi yang dibungkus dengan sejenis daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya. Gawai tradisional pelaksanaannya memakan waktu sampai tiga bulan, yakni sekitar April sampai Juni. Karena itulah, Gubernur Kalbar, Kadarusno mengarahkan agar upacara syukuran ini dilaksanakan pada tanggal 20 Mei setiap tahun. Pada saat ini di beberapa daerah kabupaten acara syukuran ini telah dimodifikasi dan diangkat menjadi acara tingkat kabupaten. Selain liputan wilayahnya diperluas, acaranya pun ditambah dengan penampilan berbagai tradisi Dayak yang ada di daerah yang bersangkutan, dan daerah lainnya yang bersedia mengikuti acara tersebut. Di tingkat provinsi acara yang sama disebut Gawai Dayak atau Upacara Adat Gawai Dayak.

B. Gawai Dayak sebagai Upacara Adat
Telah dikemukakan Gawai Dayak adalah nama lain upacara adat syukuran pascapanen di Pontianak. Hakikatnya sama dengan Naik Dango, atau Maka‘ Dio. “Tujuannya sendiri kurang labih sama, mengadakan pesta atau selamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata” (Akcaya, 1997:16). Gubernur Aswin dalam Akcaya 29 April 1994:03 mengatakan, “Upacara Naik Dango merupakan ungkapan rasa syukur atas keamanan, kesehatan, dan hasil panen yang melimpah, selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan”. Jadi, Gawai Dayak pada prinsipnya sama dengan Naik Dango.

“Orang Dayak paling tidak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan mulai dari Baburukng sampai tahap terakhir yaitu, upacara adat Naik Dango atau Ka‘ Pongo”, (1999:2). Sebelum hari H dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan pelantunan mantra (nyangahathn), yang disebut matik. Tujuannya ialah memberitahukan dan mohon restu kepada Jubata bahwa besok akan dilaksanakan pesta adat. Pada hari H dilaksanakan upacara adat dengan nyangahathn di ruang tamu (sami), memanggil semangat (jiwa) padi yang belum kembali, nyangahathn di lumbung padi (baluh atau langko) untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya, dan nyangahatn di tempayan beras (pandarengan) tujuannya memberkati beras agar bertahan dan tidak cepat habis.

Nyangahathn dapat disebut sebagai tata cara utama ekspresi religi suku Dayak. Bahari Sinju dkk. (1996:146), berpandangan bahwa Nyangahatn adalah wujut upacara religius. Ia menjadi bagian pokok dalam setiap bentuk upacara, dengan urutan atau tahapan yang baku, kecuali bahan, jumlah roh suci, para jubata yang diundang, dan tentu saja konteksnya. Dari segi tahapannya nyangahatn terbagi menjadi (1) matik, (2) ngalantekatn, (3) mibis, dan (4) ngadap Buis. Matik bertujuan memberitahukan hajat keluarga kepada awa pama (roh leluhur) dan jubata. Ngalantekatn bertujuan permohonan agar semua keluarga yang terlibat selamat. Mibis bertujuan agar segala sesuatu (kekotoran) dilunturkan, dilarutkan, dan diterbangkan dari keluarga dan dikuburkan sebagaimana matahari terbenam ke arah barat. Terakhir adalah ngadap buis, yakni tahapan penerimaan sesajian (buis) oleh awa pama dan jubata, dengan tujuan ungkapan syukur dan memperoleh berkat atau pengudusan (penyucian) terhadap segala hal yang kurang berkenan, termasuk pemanggilan semua jiwa yang hidup (yang tersesat) agar tenang dan tenteram.

Dilihat dari kondisi bahan yang digunakan, tahapan pertama sampai ketiga, disebut nyangahatn manta, yakni nyangahathn dengan bahan yang belum masak (mentah), sedangkan ngadap buis disebut nyangahathn masak, disiapkan dengan bahan-bahan yang siap hidang (sudah masak). Sebenarnya ada nyangahathn dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa ungkapan/doa pendek dengan sajian sederhana: nasi, garam, dan sirih masak (kapur, sirih, gambir, tembakau, dan rokok daun nipah), nyangahathn sederhana ini disebut babamang.

Gawai Dayak atau Naik Dango didasari mitos asal mula padi yang populer di kalangan orang Dayak Kalbar, yakni cerita nek baruang kulup. Cerita asal mula padi berawal dari setangkai padi milik jubata di Gunung Bawakng yang dicuri seekor burung pipit dan jatuh ke tangan nek jaek yang tengah mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput menyebabkan ia diejek, dan keinginan membudidayakannya menyebabkan pertentangan dan bahkan ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata, adalah nek baruang kulup. Nek baruang kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada talino (manusia,) lantaran ia suka turun ke dunia bermain gasing. Perbuatan ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawakng dan akhirnya kawin dengan manusia. Padi akhirnya menjadi makanan sumber kehidupan yang menyegarkan, sebagai pengganti kulat (jamur) bagi manusia. Namun, untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan keluarga manusia dan jubata yang menunjukkan kebaikan hati Jubata bagi manusia. Fungsi padi dan kemurahan jubata inilah yang menjadi dasar upacara Naik Dango.

Menurut Bahari, dkk. (1999:243)., makna upacara Naik Dango antara lain, adalah

menyukuri karunia jubata;

mohon restu kepada jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dangao padi;

pertanda penutupan tahun berladang;

mempererat hubungan persaudaraan/solidaritas.

Dalam kemasan modern, upacara adat ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan pemeran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini menyebabkan Gawai Dayak lebih menonjol sebagai pesta daripada sebagai upacara ritual. Namun, dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.

C. Faktor-Faktor Pendukung Keberadaan Gawai Dayak
1. Spirit Kelompok Urban

Keberadaan Gawai Dayak tidak lepas dari spirit kelompok urban asal Dayak. Sampai tahun 1980-an jumlah orang Dayak di kota Pontianak masih sangat sedikit. Meski demikian, beberapa figur telah ada yang aktif di partai, antara lain, PC Palaoen Soeka, Masardi Kaphat, Moses Nyawath, Rahmat Sahudin, dll. Kiprah kelompok politisi yang senantiasa berurusan dengan konsep kelompok dan massa, telah mendorong upaya untuk membangkitkan kebersamaan di antara sesama Dayak.

Pada tahun 1986 dibentuklah Sekretariat Kesenian Dayak (Sekberkesda), yang salah satu tugasnya adalah mengorganisasikan pelaksanaan pergelaran seni budaya Dayak, yang selanjutnya berubah menjadi Gawai Dayak. Keinginan untuk saling memperkuat dan memperkenalkan tradisi Dayak mendorong kehadiran simbol yang dapat menjadi perekat sesama orang Dayak. Gawai Dayak menjadi simbol yang menyadarkan bahwa setiap Dayak berasal dari leluhur dan budaya yang sama. Simbol ini telah menjadi media untuk menyegarkan kesadaran akan tradisi masa lalu di antara sesama urban selama kurang lebih dari satu dasa warsa.

Bolehjadi Sekberkesda pada mulanya merupakan sarana politik. Namun, keberadaan organisasi ini menandai awal perhatian dan kecintaan terhadap budaya Dayak di kalangan Dayak di perkotaan secara terorganisasi dalam lingkup yang lebih luas daripada sekedar sanggar-sanggar. Hal ini terlihat dari bergabungnya sekitar 8 buah sanggar pada waktu itu. Manufer di sektor politik pada waktu itu berdampak positif, yakni memajukan perhatian untuk mengembangkan seni budaya Dayak di Pontianak.

2. Telah Bertahan Lebih dari Satu Dasa Warsa
Jika dihitung dari dilaksanakannya Malam Pergelaran Kesenian Dayak pertama kalinya, 30 Juni 1986, upacara adat Gawai Dayak telah bertahan lebih dari 10 tahun. Perlu diinformasikan juga bahwa sejak 1992, nama Gawai Dayak berubah menjadi pekan Gawai Dayak, yang artinya Gawai Dayak dicanangkan untuk dilaksanakan selama sepekan. Namun, pelaksanaan Gawai Dayak tidak selalu mulus. Gejolak konflik bernuansa etnis yang terjadi berulang kali di Pontianak berdampak pelaksanaan tidak sesuai dengan jadwal, bahkan ditiadakan.

Kemampuannya bertahan lebih dari sepuluh tahun menunjukkan bahwa Gawai sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Dayak di Pontianak. Ia telah menjadi media yang dibutuhkan untuk menyegarkan semangat solidaritas sesama Dayak dalam lingkaran rutinitas kehidupan kota.

3. Dukungan Masyarakat Budaya
Kemampuannya bertahan tidak terlepas dari kekuatan atau faktor-faktor luar seperti pendanaan dari pemerintah daerah, kepentingan pengembangan periwisata, atau bahkan kepentingan-kepentingan yang bernuansa politis. Namun, Gawai Dayak sebagian besar mendapat dukungan masyarakat budaya; dalam arti, masyarakat Dayak dengan orientasi kepentingan budaya. Pada saat ini, Sekberkesda didukung oleh lebih kurang 23 sanggar yang dapat dilihat sebagai representiasi berbagai kelompok subsuku Dayak yang ada di Pontianak.

Dukungan ini menjadi faktor kekuatan yang luar biasa. Yang masih menjadi persoalan bagi Sekberkesda adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan itu, bagaimana mengembangkan Sekberkesda menjadi lembaga yang dapat berbuat optimal dalam mengembangkan dan mendayagunakan potensi yang ada., termasuk mengangkat Gawai Dayak menjadi peristiwa budaya bertaraf nasional, bahkan internasional.

D. Fanatisme Rumah Panjang
Gawai Dayak di Pontianak selalu difokuskan di rumah panjang atau (oleh Pemda diberi nama) rumah betang. Menurut Ketua Harian Majelis Adat Dayak, Ir Syaikun Riyadi, rumah betang ini didirikan sekitar tahun 1980 –an. Hampir seluruh kegiatan Gawai dilaksanakan di tempat ini, kecuali kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin dilaksanakan lagi di rumah betang, misalnya pemilihan bujang dara Gawai, pameran benda-benda kerajinan yang pesertanya cukup banyak, dll. Rumah betang ini juga menjadi sekretariat MAD (Majelis Adat Dayak), yakni sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada pengkoordinasian beberapa Dewan Adat Dayak (DAD), terutama dalam hal penanganan masalah pelanggaran hukum adat. MAD dan DAD dapat dilihat sebagai wujud konkret dari kecintaan dan perhatian terhadap budaya Dayak, yang moralnya secara akumulatif dibentuk oleh rangkaian kegiatan Gawai Dayak.

Di Kalimantan Barat rumah panjang identik dengan orang Dayak. Tidak ada suku lainnya di Kalimantan Barat, bahkan di Kalimantan yang memiliki tempat tinggal sama atau mirip dengan rumah panjang. Meski demikian, pada saat ini bagi sebagian besar generasi Dayak, budaya rumah panjang hanya tinggal cerita. Sepengetahuan penulis salah satu peninggalan rumah panjang orang Dayak Kabupaten Pontianak ada di Desa Saham, sedangkan menurut Fran l. dan Kanyan, Orang Dayak Iban di Kecamatan Embaloh Hulu masih memiliki tiga rumah panjang. Fran (1994:201) juga menulis bahwa orang Iban yang mendiami desa-desa di Kecamatan Batang Lupar dan lanjak Kabupaten Kapuas Hulu hampir semuanya tinggal di rumah panjang yang mereka sebut rumah panjae.

Punahnya rumah panjang merupakan bagian dari sejarah panjang mengenai penghancuran budaya Dayak di Kalimantan Barat. Penghancuran budaya Dayak telah bermula sejak masuknya agama baru, baik Islam maupun Kristen. Orang Dayak yang masuk Islam mengidentifikasi diri sebagai orang Islam, yang berarti meninggalkan identitas mereka sebagai orang Dayak. Demikian juga, para penyebar agama Kristen yang mengemban tugas yang mereka sebut La mission sacre (tugas suci). Orang Dayak yang tidak menganut Nasrani disebut kafir, menyembah berhala, primitif, animisme dsb. Tugas Nasrani memberadabkan orang Dayak karena menganut budaya yang mereka sebut sebagai Ragi Usang. Konsep Ragi Usang ini pada prinsipnya ialah ingin mengosongkan orang Dayak dari budaya mereka sendiri (Djuweng, dalam KR, 1998:7).

Pada masa Orba salah satu bentuk penghancuran budaya Dayak adalah penghancuran rumah panjang pada tahun 1970–an karena hidup di rumah panjang dianggap menyerupai cara komunis, berbahaya bagi kesehatan, dan tidak bermoral karena melakukan seks bebas. “Kebijakan itu bukan saja menyinggung perasaan orang Dayak, melainkan juga bisa mempercepat proses kehilangan identitas mereka” (Jopsef, 1992:XVI)

Penghancuran budaya Dayak ini ternyata memiliki dampak sangat mendalam. Terdapat orang Dayak yang akhirnya malu disebut atau menyebutkan diri sebagai orang Dayak. Ada yang berpendapat citra buruk itu dapat dihapus dengan mengganti identitas diri dengan cara masuk Islam, atau menghilangkan konsonan ‘K‘ pada istilah Dayak, sehingga menjadi Daya. Namun, ada yang berpendapat perbaikan citra bersifat lebih luas daripada sekedar mengganti istilah Dayak, yakni meliputi perbaikan di segala sektor kehidupan orang Dayak. Menurut Djuweng (2001:82), penggantian istilak Dayak menjadi Daya tidak menguntungkan, bahkan merugikan karena justru menghilangkan etnisitas sebagai salah satu wujud identitas Daya.

Fanatisme rumah panjang selain menuntut pengadaan fisik rumah panjang sebagaimana tuntutan upacara di daerah-daerah, juga menghendaki agar fungsinya sebagai pusat kebudayaan diberlakukan kembali. Hal ini terlihat dari keinginan memusatkan segala kegiatan Gawai Dayak di rumah panjang. Dengan kata lain, fanatisme rumah panjang, menyangkut rumah panjang sebagai pusat kebudayaan yang meliputi bergai sistem sosial yang ada di dalamnya. Gawai Dayak menjadi proses penelusuran kembali salah satu identitas penting dalam budaya Dayak yang terlindas sejarah masa lalu.

Harian Akcaya (30 Mei 1994: 03), berkaitan dengan pelaksanaan Maka‘ Dio di Kabupaten Sambas menulis “Upacara Maka‘ Dio, kata Libertus, suatu wadah komunikasi budaya asli daerah yang perlu dilestarikan sebagai bahan dalam usaha menyukseskan pembangunan. Selain itu, hal ini juga mengenal dan memantapkan identitas Dayak dalam bentuk yang mudah dikenal dan diamati oleh masyarakat.

Dalam harian yang sama tertulis, “Gubernur dalam sambutannya mengatakan upacara adat Naik Dango dilihat dari kacamata budaya perlu dilestarikan karena mempunyai nilai budaya yang perlu diangkat ke permukaan sehingga identitas budaya suku Dayak di Kabupaten Pontianak dapat dikenal sebagai sesuatu yang menarik, baik wisman maupun domestik (Akcaya, 29 April, 1994:03).

Dikaitkan dengan penghancuran rumah panjang di masa silam, penegasan kembali identitas budaya rumah panjang juga dapat dilihat sebagai proses perlawanan panjang atas sejarah untuk memperoleh kembali apa yang sebelumnya dipaksahilangkan melalui penghancuran budaya Dayak, yakni pengakuan dan penghargaan terhadap orang Dayak sebagai sesama dengan segala kekhasannya. Orang Dayak tidak ingin sekedar dianggap ada, tetapi hak-hak mereka sebagai warga dihormati dan dihargai. Dalam perspektif ini Gawai Dayak tidak hanya strstegis bagi pengembangan seni budaya Dayak, tetapi juga strategi bagi membangun dimensi kemanusiaan penting lainnya, yakni perasaan sederajat, dan keyakinan terhadap budaya sendiri.

E. Pembuka Wawasan Pluralitas
Kalbar tergolong wilayah yang rentan konfliks bernuansa etnis. Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan penyeragaman semasa Orba. Penyeragaman di bidang seni budaya merupakan tindakan sensor terselubung yang mengekang kebebasan berekspresi dan kreativitas. Dengan konsep budaya nasional sebagai puncak budaya daerah, negara mendapat legitimasi menentukan seni budaya daerah yang boleh berkembang dan tidak, bahkan menghancurkan kebudayaan tertentu yang dinilai menghambat agenda ekploitasi pusat terhadap daerah. Tekanan juga dilakukan dengan melancarkan istilah-istilah negatif bagi kebudayaan daerah seperti terbelakang, tidak modern, kafir, primitif, dsb. Hasilnya adalah masyarakat tidak terbiasa hidup dalam perbedaan dan tidak bisa menghargai perbedaan. Menurut Kusni (1994:50), masyarakat yang tidak tumbuh dalam budayanya menyuburkan gejala skeptifisme dan ketidakacuhan terhadap lingkungan.

Bagi masyarakat yang tidak terbiasa dengan perbedaan, perbedaan budaya cenderung dilihat sebagai alasan untuk mengambil jarak, bahkan alasan untuk saling menekan. Penyeragaman menumbuhkan sikap konfrontatif dalam memandang kondisi pluralistik. Persoalan individual mudah memancing sentimen etnik, dan persoalan kecil mudah berkembang menjadi konfliks berskala besar. Situasi penyeragaman di satu sisi menyebabkan setiap kelompok cenderung tetap terisolasi, di sisi lain tidak memiliki arah berkembang yang jelas karena budaya nasional yang dijadikan kiblat tidak jelas wujudnya. Akibatnya, masyarakat daerah retak-retak dalam pluralisme dan budaya menjadi kerdil.

Menurut Awuy (2000:1), salah satu upaya eliminasi kebijakan penyeragaman adalah mengakui bahwa kekuasaan yang tidak realistis pada prinsipnya menyangkal keberagaman dan kepentingan sebagaimana muncul dari keberagaman budaya kita. Artinya, pembukaan wawasan pluralitas pertama-tama menghendaki adanya kesadaran bahwa stigmatisasi sosial budaya, berbagai pandangan negatif terhadap kebudayaan daerah, termasuk seni budaya adalah anak kandung dari penyeragaman pusat sebagai strategi mempertahankan dominasi atas daerah. Berikutnya, perlu ditumbuhkan kecintaan terhadap budaya sendiri dan penghargaan terhadap budaya yang berbeda. Dalam konteks ini, Gawai Dayak menjadi salah satu event budaya selain dapat menumbuhkan kecintaan terhadap budaya Dayak, sekaligus mempertegas identitas orang Dayak sebagai media pemahaman budaya bagi pihak lainnya. Gawai Dayak diharap menjadi fenomena budaya yang dapat menumbuhkan sikap mau menghargai perbedaan dan sensitivitas terhadap perbedaan.

Di mata aktivis Gawai Dayak, keberadaan Gawai harus dipertahankan karena menjadi sarana pendidikan dan pewarisan budaya bagi generasi muda Dayak dan media berkomunikasi dengan pihak lainnya. Dalam masyarakat yang pluralistik, pemberdayaan dan pelestarian setiap unsur budaya menjadi hal penting mengingat setiap budaya/tradisi memberikan pegangan bagi pemilik budaya dalam menata kehidupannya, baik dalam berhubungan dengan sesama, lingkungan dan Sang Pencipta, serta memberikan identitas jelas agar dapat berkomunikasi (dialog) secara sejajar dengan pihak lainnya. Kusni (1994:50), mengatakan bahwa yang memiliki tempat dalam dialog budaya nasional hanyalah mereka yang memiliki kebudayaan yang hidup, setia, dan bertolak dari asalnya dan penuh kreativitas.

Hilangnya identitas dapat menyebabkan hilangnya pengakuan, kepincangan komunikasi, kebijakan yang diskriminatif, dan berbagai bentuk kecemburuan sosial yang dapat menyebabkan keretakan, bahkan konflik dalam pluralitas. Dalam perspektif ini penegasan identitas penting bagi memupuk kesadaran akan kemajemukan, sedangkan bagi pemilik budaya, penegasan identitas penting sebab sebagaimana diungkap Kusni (1994:50), apabila keadaan tanpa kreativitas berlangsung terus, kebudayaan Dayak akan didominasi sehingga yang tertinggal hanyalah darah yang mengalir secara alami. Namun, secara kebudayaan hal itu sudah menjadi tidak jelas sehingga pengingkaran diri sebagai orang Dayak gampang terjadi.

F. Kesimpulan
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kalimantan Barat yang digelar rutin setiap tahun di Pontianak pada setiap Mei. Event budaya ini berakar dari tradisi terpenting suku Dayak, yakni upacara adat perladangan. Masyarakat Dayak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan. Upacara adat terakhir adalah Naik Dango. Upacara Naik Dango inilah yang selanjutnya disuguhkan dalam kemasan baru menjadi Gawai Dayak di tingkat Propinsi.

Beberapa hal yang mendukung pelaksanaan Gawai Dayak, antara lain, spirit kebersamaan kelompok urban telah dipandang sebagai tradisi dan dukungan masyarakat budaya.

Bagi masyarakat Dayak, Gawai Dayak merupakan peristiwa budaya yang strategis dalam arti membuka peluang menghadirkan kembali budaya rumah panjang, dan memulihkan kembali dimensi kemanusiaan yang sebelumnya telah dicabik-cabik, yakni perasaan sederajat dan keyakinan terhadap budaya sendiri.

Di tengah-tengah masyarakat Kalimantan Barat yang pluralistik, Gawai Dayak diharapkan menjadi media yang potensial untuk menumbuhkan sensitivitas dan penghargaan terhadap perbedaan, khususnya perbedaan seni dan budaya. Sensitivitas dan penghargaan terhadap perbedaan ini penting karena penyangkalan terhadap keragaman kepentingan sebagaimana muncul dari keberagaman budaya merupakan tindakan penindasan yang menghasilkan masyarakat yang tidak terbiasa dengan perbedaan dan rawan konflik. Dari persfektif ini, Gawai Dayak dapat dipandang sebagai salah satu media pembuka wawasan pluralitas.

Daftar Pustaka
———. 2000. “Sejarah Lisan dan Rekonsiliasi Sosial”. Makalah pada Diskusi Panel Kreativitas Menafsir Trauma Sejarah Menuju Rekonsiliasi. Pontianak, Universitas Tanjungpura.

———. 2001. “Identitas Masyarakat Dayak”, dalam Masyarakat Adat Di Dunia, Eksistensi dan Perjuangannya. Diterbitkan kerja sama antara IWGIA (International Work Group for Indigenous Affairs Copenhagen, Denmark dan ID (Institue Dayakology) Pontianak, Indonesia.

Akcaya. 21 /9/ 1997:16. Berita: “Gawai Gayak Masih Minim Dana”.

Akcaya. 29/4/1994:3. Berita:”Aswin: Upacara Adat Naik Dango Perlu Diangkat Kepermukaan”.

Akcaya. 30/5/1994. Berita: “Maka‘ Dio, Memantapkan Identitas Dayak”.

Awuy, F. Tommy. 2000. “Rekonsiliasi dan Kesadaran Dekonstruktif”, Makalah pada Diskusi Panel Kreativitas Menafsir Trauma Sejarah Menuju Rekonsiliasi. Pontianak, Universitas Tanjungpura.

Djuweng, Stepanus. 1998. “Pembangunan Berarti Penindasan?”, dalam Kalimantan Review. Pontianak: Institute of Dayakology Research and Development.

Frans L., E , S. Jacobus, dan Kanyan Concordius. 1944. “Rumah Panjang Sebagai Pusat Kebudayaan Dayak”, Dalam Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi, Edit. Paulus Florus, dkk. Pontianak: LP3S- Institut of Dayakology Research and Development, Gramedia Jakarta.

Herman Ivo, dkk. 1999. Nilai Budaya Upacara Adat Perladangan Suku Dayak Kanayathn Kalimantan Barat. Pontianak: Pusat Kajian Dayak Untan.

Hulten Van, Josef Herman. 1992. Hidupku di antara Suku Dayak. Jakarta: Gramedia

Kusni, JJ. 1994. Dayak Membangun. Jakarta: Kolektif the Paragon‘s.

Sinju, Bahari, Herkulanus dkk. 1996. Tradisi Perladangan Dayak Kanayathn Binua Kaca‘ Kecamatan Menjalin Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Pontianak: Institue Dayakology Research And Development.

Humaniora Volume XIII, No. 3/2001