Beranda » Masyarakat Rote Ndao Telah Lama Mengenal Otonomi Daerah

Masyarakat Rote Ndao Telah Lama Mengenal Otonomi Daerah



Masyarakat Rote Ndao sejak jaman kolonial Belanda telah merasakan apa itu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri/otonomi daerah. F.J Ormeling dalam The Timor Problem: A Geographical Interpretation of An Underdevelop Island (1956:225) melukiskan bahwa orang Rote terkenal sebagai penduduk yang paling dapat menghindarkan diri dari campur tangan pihak luar.


Kemudian, Fox (1996) dalam Harvest of The Palm menceritakan bahwa orang Rote bersifat aktif progresif, senang menyelesaikan persoalan dalam wadah debat yang kritis, cerdas dan selalu menghindari penyelesaian persoalan secara fisik,Nusak/kerajaan adalah lembaga pengabdian yang demokratis. Pada tahun 1736 di Rote telah ada 12 sekolah di 12 Nusak dan pada awal abad XVIII di Rote terdapat satu-satunya sistem sekolah Melayu Swadaya Indonesia.

Dalam Laporan Tertulis Pemerintah Hindia Belanda Tahun 1656 (yang dikutip oleh Rupidara, 2002:4) menyebutkan bahwa Rote sebagai sebuah wilayah yang telah memiliki kekuasaan pemerintahannya sendiri. Kemudian pada tahun 1855, S.N. Buddingh, orang asing yang datang langsung ke Rote melaporkan bahwa orang Rote gemar belajar, pandai dan cerdas, berbudi pekerti dan mereka pantas mendapatkan tempat yang layak di antara orang-orang di daerah tropis (Rupidara, 2002:4).

Di bidang ekonomi, Fox (1996) menceritakan bahwa menghindari pertanyaan mengenai kekayaan bukan suatu kemampuan yang unik bagi orang Rote tetapi merupakan suatu keahlian yang dengan pandai telah dikembangkan. Dengan kata lain bahwa orang Rote suka bekerja keras karena kerja keras ada kaitannya dengan kekayaan. Menurut Prof. Mubyarto (1993), masyarakat Rote memiliki etos kerja yang cukup tinggi walaupun tingkat kohesi sosialnya agak rendah. Lagi-lagi menurut Fox (1996) bahwa perekonomian Rote yang agraris itu sejak dahulu merupakan sumber yang aman untuk persediaan pangan bagi daerah Kupang. Negeri outer arc/busur luar yang merupakan peralihan dari dua ekstrim yaitu Sabu yang sangat kering dan Timor yang relatif basah, negeri yang nama aslinya oleh para leluhur disebut lolo neo do tenu hatu artinya gelap dan kemudian diganti dengan nes do male yang berarti layu (Otta, 1990) itu oleh Fox dikatakan memiliki perekonomian yang lain daripada yang lain yaitu perekonomian yang kenyang ketika orang di daerah lain lapar. Fox (1996) mengutip Drystubble menyebutkan orang Rote sebagai yang tidak pernah makan atau yang meminum makanan daripada makanannya. Itulah keunikan air/nira dari lontar/palem.

Dari catatan historis di atas dan dibandingkan dengan kondisi Rote Ndao pada saat sekarang, dapat ditegaskan bahwa perkembangan pembangunan di Pulau Rote telah mengalami banyak kemajuan di satu sisi dan juga kemunduran pada sisi yang lain, misalnya budaya asli orang Rote perlahan-lahan mulai terkikis dengan sentuhan modernisasi; aturan-aturan dan etika dalam lembaga pemerintahan adat/lembaga peradilan adat (Nusak) seperti sanksi bagi masyarakat yang malas bekerja misalnya sudah mulai menghilang seiring dengan hadirnya sistem peradilan pemerintah; generasi penerus kesenian asli orang Rote seperti industri kerajinan berbahan lontar, misalnya: menganyam alat musik sasando, menganyam berbagai jenis topi orang Rote seperti ti’i langga, termasuk menemukan generasi muda Rote yang pandai bermain sasando semakin sulit ditemui saat ini, kebanyakan diantaranya adalah generasi tua.13189631101612948219


Wilson Therik