Beranda » Masjid Al Kaffi, Sejarah yang Hampir Terlupakan

Masjid Al Kaffi, Sejarah yang Hampir Terlupakan



Terancam Longsor, Berada di Tepi
Sungai Batanghari

Di daerah Tanjung Johor, Jambi Kota Seberang, Kecamatan Danau Teluk, terdapat sebuah masjid yang memiliki nilai historis cukup tinggi. Adalah masjid AL Kaffi, yang mulai didirikan pada 1927.

Menurut Muhammad Rasyid (71), salah tokoh masyarakat setempat, masjid tersebut dibangun oleh penduduk Tanjung Johor yang tinggal di daerah Sungai Maram.

“Dulunya mesjid ini dibangun dari kayu oleh Keramat Haji Abdul Kaffi dan keluarganya. Itu, sisa bangunan kayunya masih ada sedikit di samping masjid ini,” kata Rasyid, membuka pembicaraan.

Muhammad Rasyid mengatakan, mulanya masjid di Kota Jambi ini ada empat, yaitu di Tanjung Johor, Tahtul Yaman, Olak Kemang, dan di Tanjung Pasir. Mengapa semuanya bermula dari Seberang? Kata Rasyid, karena Seberanglah asal mula Kota Jambi yang sebenarnya.

“Di seberang inilah penduduk Kota Jambi yang asli. Kalau yang di seberang sana (luar seberang) adalah penduduk pendatang. Dulu di sana adalah kebun atau tempat mencari bagi warga Kota Seberang. Salah satunya bagi Keramat Haji Abdul Kaffi. Karena takut dengan Belanda akhirnya Haji Kaffi lari ke sini dan membangun masjid ini bersama dengan anak dan cucunya pada 1927,” kata Rasyid.

Melihat semakin banyaknya masyarakat yang beribadah di Masjid Al Kaffi dari waktu ke waktu, pada 1931 mesjid ini dibangun permanen. Adapun tokoh masyarakat yang memperjuangkan pembangunan mesjid AL Kaffi pada 1931 tersebut adalah Keramat Haji Abdul Kaffi bersama Guru Jamaluddin, Guru Haji Abdul Halim, Guru Haji Abdul Majid, Guru Muhammad Zein dan Guru Haji Usman.

Keramat Haji Abdul Kaffi dimakamkan tepat di samping Masjid Al Kaffi. Makamnya dibuatkan sebuah pondok tinggi, di dalamnya terdapat sebuah makam lagi, makam salah satu dari tujuh anak Haji Kaffi, Saidah. Sekarang, di sekitar makam juga terdapat beberapa kuburan warga setempat.

Saat saya ke sana beberapa waktu lalu, kondisi pondok makam tersebut cukup memprihatinkan. Lantai-lantainya dalam keadaan retak, pecah tak beraturan. Di dalam pondok terdapat tumpukan genteng. Di sana juga terdapat beberapa buah Alquran yang diletakkan di atas makam.

Di samping makam terdapat sebuah tikar lusuh tempat peziarah duduk kala sedang membaca Yassin. Sementara itu, makam Keramat Haji Abdul Kaffi sendiri ditutupi nisan. Hanya di bagian atas nisan yang diberi luang kecil untuk orang menyiram air. Makam anaknya, Saidah masih berupa tumpukan tanah dan bata.

Dikatakan Rasyid bahwa tidak ada yang memperjuangkan makam keramat tersebut untuk menjadi sebuah situs purbakala, makanya kondisinya tidak terurus. “Dulu sempat dengar-dengar ada bagian purbakala yang datang namun sampai sekarang tidak ada kelanjutan.

Saya berharap, makam ini bisa menjadi sebuah situs purbakala karena nilai historisnya yang cukup tinggi,” katanya.

Walaupun jumlahnya berkurang dikatakan Rasyid bahwa makam Keramat Haji Kaffi masih ramai dikunjungi peziarah. “Mungkin berkurang karena banyak dengar-dengar ceramah kan. Tapi kalau bulan ramainya tidak tentu. Orang-orang ramai ke sini biasanya untuk bernazar atau berobat. Walaupun bukan situs, kesaktian makam ini masih diunggulkan,” jelasnya.

Keberadaan makam dan Masjid Al Kaffi cukup mengkhawatirkan. Masjid yang masih dalam proses renovasi ini keberadaannya terancam dengan arus Sungai Batanghari yang deras. Letaknya yang tepat di bibir sungai, sewaktu-waktu bisa terkena longsor.

“Pemerintah membangun dam dari besi. Adik bisa lihat, kondisinya sudah tidak kuat. Kami berharap dam tersebut bisa diperbaiki dan diimbangi dengan cor sehingga tidak mengancam makam dan Masjid Al Kaffi,” kata Rasyid. (*)