Beranda » Legenda Putri Miaoshan (Perwujudan Wanita Avalokitesvara/Guan Yin)

Legenda Putri Miaoshan (Perwujudan Wanita Avalokitesvara/Guan Yin)



Hari yang istimewa bagi kebanyakan umat Tridharma pada umumnya dan umat Buddha Mahayana Cina pada khususnya. Tepat hari ini yang dalam penanggalan lunar Cina jatuh pada bulan ke-9 tanggal 19 (Kauw Ge Cap Kauw) merupakan hari peringatan Bodhisattva Avalokitesvara mencapai Pencerahan (Nirvana). Mungkin nama Avalokitesvara terdengar asing bagi kebanyakan orang; dalam bahasa Cina beliau disebut Guan Shi Yin Phu Sa (Kwan She Im Pou Sat) atau lebih dikenal masyarakat umum sebagai Dewi Kwan Im.

Menurut tradisi Buddhis Mahayana, Beliau adalah seorang Bodhisattva, makhluk suci yang telah mencapai Pencerahan tetapi menangguhkan Nirvana-Nya untuk kembali ke dunia fana ini menolong makhluk-makhluk yang menderita. Nama Avalokitesvara (avalokita + isvara) bermakna “Sang raja (isvara) yang melihat ke bawah atau dunia (avalokita)”; nama Guan Shi Yin bermakna hampir sama, yaitu “Ia yang mendengar suara jerit tangis dunia”.

Kenyataannya, Beliau merupakan satu-satunya makhluk suci dari tradisi Mahayana yang diakui oleh umat Buddha Theravada. Di Sri Lanka Beliau disebut Natha atau Nathadeva dengan nama lengkapnya Lovesvaranatha (”Sang raja yang melindungi dunia”); di negara-negara Buddhis di Asia Tenggara (terutama Thailand, Kamboja, dan Myanmar) namanya dikenal sebagai Lokesvara (”Raja dunia”). Hal ini disebabkan karena Beliau dalam tradisi Theravada dianggap sebagai perwujudan sifat kasih sayang (karuna) Sang Buddha Gotama.

Menjawab pertanyaan mengapa sosok Avalokitesvara dapat diterima dalam kedua tradisi utama Buddhis ini, Bhikkhu Piyasilo Mahathera memberikan beberapa poin berikut:

  1. Kitab Suci: Ajaran bahwa Avalokitesvara adalah jelmaan belas kasih Sang Buddha didasarkan pada kitab suci Buddhis (termasuk kitab Pali). Dikatakan bahwa Sang Buddha, bangkit di pagi hari dari pencapaian meditatif belas kasih agung, mengamati dunia (mahakaruna samapattito vutthaya lokam volokento, D 2:37, DhA 1:21 2:367, P 1:126).
  2. Sifat Sang Buddha: Dalam Mahaparinibbana Sutta, Sang Buddha berkata bahwa Beliau muncul dalam delapan kumpulan (orang mulia, brahmana, perumah tangga, pertapa, Empat Raja Dewa, Tiga Puluh Tiga Dewa, Mara, dan Brahma) melihat dan berbicara seperti mereka untuk mengajar Dhamma, mendorong, memperbaiki, dan menggembirakan mereka tanpa dikenali sama sekali oleh mereka (D 2:109). Avalokitesvara menunjukkan sifat-sifat yang sama dengan berbagai perwujudannya (akan dibahas di bagian di bawah).
  3. Pengendalian Sang Buddha terhadap waktu: Sedikitnya dalam dua peristiwa Sang Buddha menunjukkan pengendalian-Nya terhadap waktu. Contoh pertama adalah ketika Sang Buddha menimbulkan gambaran bidadari cantik luar biasa dalam pikiran Ratu Khema, istri Raja Bimbisara, dan membiarkannya “melihat” bidadari itu melewati masa muda, dewasa, usia tua, dan mati dalam waktu singkat (DhA 4:168 f). Contoh kedua ditemukan dalam Mahaparinibbana Sutta, di mana Sang Buddha mengisyaratkan kemampuan-Nya, hasil pencapaian-Nya akan jalan pencapaian beruas empat (iddhipada), untuk hidup selama satu kalpa (bisa berarti masa hidup normal manusia atau satu masa dunia) kepada Ă€nanda (D 2:103 117).
  4. Sifat adiduniawi Sang Buddha: “Karena seorang Tathagata [Buddha], tidak bisa dipahami walaupun sedang muncul di dunia ini, tidak layak mengatakannya… bahwa setelah wafat Tathagata itu ada, tidak ada, ada dan tidak ada, atau bukan ada dan tidak ada” (S 3:118; cf M 1:488).
    Kepada Dona sang brahmana yang melihat jejak kaki-Nya, Sang Buddha menyatakan bahwa keberadaan-Nya tidak bisa digolongkan ke dalam makhluk apa pun (dewa, makhluk surgawi, yaksha, atau manusia) tetapi istilah “Buddha”-lah paling sesuai bagi- Nya (A 2:38).
    Kekuatan Sang Buddha itu di luar pemahaman pikiran yang belum cerah. Avalokitesvara, sebagai kekuatan spiritual positif bagi umat Buddha yang tak terhitung banyaknya selama berabad-abad, adalah aspek pikiran tertinggi yang tidak bisa dicabut.
  5. Pemanusiaan Sang Buddha: Terlalu memanusiakan dan tidak melegendakan Sang Buddha membuat-Nya terlihat seperti guru Dhamma yang tak berdaya. “Dia wafat di Nirvana. Dia tidak bisa menolongmu; Anda harus menolong diri sendiri!” Ini adalah obat yang tepat di waktu yang salah. Sebagai akibatnya, umat awam yang putus asa mulai berpaling ke dewa Hindu (Sri Lanka), pemujaan nat (Myanmar), dewa bumi (Thailand), dan Brahma Bermuka Empat (Malaysia dan Singapura). Avalokitesvara muncul mewakili jawaban bagi kebutuhan yang menekan dan pengalaman hidup bagi orang kebanyakan yang melihat ajaran Buddha lebih dari sekadar kitab suci dan pengetahuan (kebijaksanaan) dan tidak hanya ‘menjawab’ pendoa, tetapi juga menampakkan diri dalam legenda rakyat populer dalam bentuk manusia.
    Orang-orang yang percaya hanya perlu memohon langsung kepada Sang Avalokitesvara dalam salah satu bentuknya yang tak terhingga banyaknya. Seseorang hanya perlu mengutarakan kesulitannya dan laksana seorang penasihat agung, Sang Avalokitesvara selalu siap mendengarkan dengan penuh perhatian. Jika ada yang berpikir bahwa hal ini bernada Ketuhanan, dia harus ingat bahwa meditasi Avalokitesvara juga muncul dalam bentuk metoda visualisasi dengan realisasi ketanpa-akuan yang menghasilkan pandangan terang (vipassana) sebagai tujuannya.

Perwujudan Wanita Avalokitesvara

Kepopuleran Bodhisattva Avalokitesvara sebagai penjawab dan penolong suara orang-orang yang menderita didasarkan pada teks Mahayana, Saddharmapundarika Sutra. Dalam bab 25 dikisahkan Bodhisattva Akshayamati bertanya tentang mengapa Bodhisattva Avalokitesvara disebut dengan nama demikian, Sang Buddha menjawab: “Wahai putera yang baik! Jika terdapat ratusan ribu koti mahluk yang sengsara karena penderitaan dan kenestapaan, maka mereka yang mendengar tentang Bodhisattva Avalokitesvara ini dan dengan sepenuh hatinya menyebut namanya, maka dengan segera Bodhisattva Avalokitesvara akan memperhatikan jeritan mereka dan semuanya akan terbebas dari segala penderitaan mereka.”

Setelah Sang Buddha menjelaskan panjang lebar tentang manfaat besar dari mengagungkan nama Bodhisattva Avalokitesvara ini, Bodhisattva Akshayamati bertanya lagi bagaimana cara Avalokitesvara menolong dan mengajarkan kebenaran kepada makhluk-makhluk yang menderita. Sang Buddha menjelaskan bahwa Avalokitesvara mengajar dengan mengambil wujud yang sesuai dengan kecenderungan pendengarnya. Terdapat tiga puluh tiga perwujudan Bodhisattva Avalokitesvara, yaitu:

  1. Buddha
  2. Pratyeka (Pacceka) Buddha
  3. Sravaka (Arahat)
  4. Brahma
  5. Sakra (Indra)
  6. Isvara
  7. Mahesvara
  8. Jenderal surgawi
  9. Vaisravana
  10. Raja dunia
  11. Orang kaya (atau sesepuh)
  12. Perumah tangga
  13. Pejabat
  14. Brahmana
  15. Bhiksu
  16. Bhiksuni
  17. Upasaka (umat awam pria)
  18. Upasika (umat awam wanita)
  19. Wanita kaya (isteri sesepuh)
  20. Perumah tangga wanita
  21. Pejabat wanita
  22. Brahmana wanita
  23. Anak lelaki
  24. Anak gadis
  25. Dewa
  26. Naga
  27. Yaksha
  28. Gandharva
  29. Asura
  30. Garuda
  31. Kimnara (burung surgawi)
  32. Mahoraga (naga raksasa)
  33. Vajrapani atau Vajradhara
Avalokitesvara dalam perwujudan sebagai pria

Avalokitesvara dalam perwujudan sebagai pria

Terlihat bahwa beberapa di antara banyak perwujudan Avalokitesvara ini terdapat beberapa perwujudan sebagai wanita. Karena sifat wanita yang penuh dengan kasih sayang sangat cocok dengan sifat kasih sayang Bodhisattva Avalokitesvara ini, maka di Asia Timur (Cina dan Jepang) Beliau digambarkan sebagai seorang wanita. Hal ini berbeda di negeri-negeri Buddhis di luar Asia Timur yang menggambarkan Avalokitesvara sebagai pria.

Kisah Putri Miaoshan

Selain dari konteks kitab suci, kemunculan wujud wanita Avalokitesvara di Cina juga didasarkan pada kejadian historis yang melegenda dalam masyarakat Cina. Dikisahkan bahwa pada tahun kesebelas masa Jintian (”Surga Emas”) (yaitu tahun 2587 SM) hiduplah seorang raja bernama Miaozhuang, penguasa Xinlin, yang memiliki tiga orang putri tetapi tak berputra. Putri ketiga bernama Miaoshan memiliki sifat yang berbeda dengan kedua saudarinya, ia lebih tertarik mendalami hal-hal spiritual ketimbang menikah dan menjadi penguasa, yang menyebabkan raja resah dan mencoba berbagai upaya untuk menggagalkan keinginan sang putri. Putri Miaoshan inilah yang kelak akan dikenal orang-orang sebagai Dewi Kwan Im (perwujudan wanita Avalokitesvara).

Perlu dicatat bahwa tahun kejadian ini (2587 SM) tidak cocok dengan kronologis kemunculan agama Buddha (Siddharttha Gautama lahir tahun 623 SM dan memberikan ajarannya 35 tahun kemudian). Salah satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa ini adalah legenda pra-Buddhis yang kemudian dipengaruhi oleh ajaran Buddha.

Avalokitesvara dalam wujud wanita (Miaoshan) yang lebih populer

Avalokitesvara dalam wujud wanita (Miaoshan) yang lebih populer

Legenda Miaoshan ini didasarkan pada isi inskripsi (prasasti) di vihara Xiangshan, propinsi Shanxi, Cina. Kisah ini menceritakan pertemuan seorang bhiksu pendiri aliran Lu (Vinaya) yaitu Dao Xuan (596-667 M) dengan seorang dewa, di mana Bhiksu Daoxuan menanyakan bagaimanakah Bodhisattva Avalokitesvara menjelma di dunia ini pada dewa tersebut. Inskripsi ini sendiri dipahat tahun 1100 M. Beberapa kata dalam inskripsi ini telah hilang ditelan waktu. Berikut adalah isi inskripsi tersebut:

Pada suatu waktu di masa lampau, Guru Lu (Vinaya) Daoxuan tinggal di Vihara Linggan di Pegunungan Zhongnan. Kesucian tindakannya menyebabkan seorang dewa datang kepadanya. Guru Daoxuan bertanya pada dewa tersebut suatu hari: “Aku telah mendengar bahwa Bodhisattva Avalokitesvara memiliki jodoh karma dengan tanah ini, namun aku tidak tahu di manakah tempat perwujudan Avalokitesvara paling banyak berada.”

Dewa tersebut berkata: “Perwujudan Avalokitesvara tidak terikat oleh tempat, namun perwujudan fisiknya, memiliki jodoh karma yang sangat kuat di Pegunungan Gandhamadana (Xiangshan).”

Master berkata: “Gandhamadana (Xiangshan) – di manakah pegunungan tersebut berada?”

Deva tersebut berkata: “Dua ratus li ke selatan Gunung Song terdapat tiga bukit yang sejajar. Bukit yang tengah bernama Xiangshan dan di tempat itulah Sang Bodhisattva mencapai pencerahan. Di tenggara bukit tersebut hiduplah seorang raja di masa lampau, bernama Raja Subhavyuha (Miaozhuangyan). Ia mempunyai istri bernama Baode atau Jingde (Vimaladatta). Pikiran sang raja berada dalam ketidaktahuan dan tidak menghormati Triratna (Buddha, Dharma, dan Sangha). Ia tidak memiliki pangeran (anak laki-laki), hanya memilki 3 orang putri, yang tertua bernama Miaoyan, yang kedua Miaoyin (Gadgadasvara) dan yang paling muda Miaoshan. Dari tiga putrinya ini, dua telah menikah. Hanya yang ketiga […] Pada saat Miaoshan masih berada dalam kandungan, ibunya bermimpi menelan bulan. Ketika malam kelahiran tiba, seluruh bumi bergetar, bau harum yang tidak dikenal memenuhi ruangan, cahaya bersinar baik di dalam maupun di luar. Masyarakat di kerajaan tersebut menjadi terkejut dan kagum, berpikir bahwa ada kebakaran di istana.

Di malam ia lahir, tubuhnya telah bersih tanpa dimandikan, tanda-tanda sucinya agung dan mulia, dipayungi oleh awan warna warni. Masyarakat di kerajaan tersebut berkata bahwa mungkin seorang suci telah muncul di kerajaan mereka. Sang raja ayahnya juga berpikir demikian dan memberinya nama Miaoshan. Ketika ia tumbuh, perilaku dan sikapnya jauh melampaui orang biasa, ia selalu memakai pakaian lusuh dan tidak memakai perhiasan sama sekali, ia hanya makan sekali dalam sehari dan tidak pernah makan makanan yang rasanya sangat kuat. Ia tidak pernah berbicara omong kosong dan ketika ia berbicara, selalu untuk menasehati. Ia banyak berbicara mengenai sebab akibat, ketidakkekalan, ilusi dan ketidaktahuan. Di kerajaan ia dikenal memiliki “hati Buddha” [Bodhicitta]. Mereka yang mengikuti ajarannya semuanya berubah menjadi baik. Mereka masuk ke dalam kehidupan pengendalian diri dan disiplin religius tanpa melanggar keputusan mereka.

Miaoshan Ingin Menjalankan Kehidupan Spiritual

Ketika sang raja mendengar ini, ia berkata pada istrinya: “Anak perempuan termuda kita
mengabdikan hidupnya pada kebaikan [Dharma]. Di kerajaan ia mengajar para pelayan wanitaku untuk menjalani kehidupan religius dan menanggalkan perhiasan. Ini sangat dekat dengan […].”

[…] Ia kemudian berkata pada anak perempuannya: “Engkau sekarang telah tumbuh besar. Engkau harus menuruti perintahku, tidak menciptakan kebingungan terhadap para pelayan wanitaku di dalam istana. Ayahmu sebagai pemimpin kerajaan tidak senang dengan hal ini. Aku dan ibumu akan mencarikan suami untukmu. Mulai dari sekarang engkau harus mengikuti tradisi kerajaan, tidak belajar ajaran salah yang dapat merusak kebiasaan dari kerajaanku.”

Miaoshan mendengar perintah ayahnya sang raja dan menjawab dengan senyuman, “Ayahku sang raja melihat […]. Sungai nafsu deras ombaknya, lautan penderitaan tidak memiliki dasar. […] datang, tidak ada jalan untuk menghindar darinya. Aku tidak akan pernah, hanya untuk kepuasan dalam satu kehidupan saja, jatuh ke dalam penderitaan selama berkalpa-kalpa lamanya. Ketika aku merenungkan hal ini, menyebabkan keinginan yang kuat muncul dalam diriku. Aku berikrar untuk mencari cara menjadi bhiksuni, untuk menempuh disiplin dan belajar Dharma, untuk mendapatkan kebijaksanaan agung Sang Buddha, untuk membalas budi cinta kasih kedua orang tuaku dan membebaskan semua makhluk dari penderitaan mereka. Jika engkau memerintahkanku untuk menikah, aku tidak dapat memberanikan diri untuk mematuhinya. Aku memohon padamu, berikanlah belas kasihmu!”

Ketika ayahnya sang raja mendengar kata-kata ini ia berkata pada istrinya: “Anak perempuan termuda kita tidak akan […].” Istrinya dikirim untuk pergi ke anaknya dan mencoba untuk membujuknya. Namun Miaoshan berkata: “Kenapa engkau dengan susah payah mencoba untuk membuat anak perempuanmu menikah? Aku akan mematuhi perintah ibuku jika itu dapat menghalangi datangnya tiga ketidakberuntungan”. Ibunya berkata: “Apa yang kamu maksud dengan tiga ketidakberuntungan?”

Anak perempuannya berkata: “Yang pertama adalah ini: ketika laki-laki di dunia ini masih muda, wajah mereka tampan, setampan bulan giok, namun ketika usia tua datang, rambut menjadi putih, wajahnya mengkerut, segala gerakan mereka memburuk tidak seperti ketika mereka masih muda. Yang kedua adalah ini: otot seorang pria bisa sehat dan kuat, ia dapat berjalan bagaikan terbang di udara, namun ketika penyakit datang padanya, ia berbaring di tempat tidur tanpa satupun kenikmatan hidup. Yang ketiga adalah ini: seorang pria mungkin memiliki sekelompok besar teman, dapat mempunyai mereka yang paling dekat dan paling dikasihinya berada di sampingnya, namun ketika suatu hari ketidakkekalan datang, bahkan kerabat dekat seperti ayah maupun anak laki-laki tidak dapat menggantikan tempatnya. Jika seorang suami dapat menolak atau menghalau tiga ketidakberuntungan ini, aku akan menikahinya. Jika ia tidak bisa, aku berikrar untuk tidak menikah. Aku kasihan kepada manusia di dunia ini, terjerumus ke dalam penderitaan seperti itu. Jika kita menghendaki untuk menghindari hal-hal tersebut, maka hanya bisa dilakukan lewat ajaran kebenaran Sang Buddha. Tujuanku adalah menjadi seorang bhiksuni dengan harapan mendapatkan terwujudnya pencegahan dari ketiga ketidakberuntungan semua manusia melalu disiplin Dharma. Dengan alasan ini, aku dengan pengertian benar, berikrar […].

Tidak Menghiraukan Bujukan Ibu dan Saudari-Saudarinya

Sang raja menjadi semakin marah. Ia mengusir keluar anak perempuannya ke halaman [taman kerajaan], di bawah jerami […], makanan dan minuman tidak diperbolehkan lagi untuk diberikan padanya dan tidak ada pelayan wanita satupun yang diperbolehkan untuk pergi ke dekatnya. Dengan rasa kasih dan perhatian, ibunya sang ratu secara diam-diam memberitahu para pelayan istana untuk menyajikan makanan dan minuman.

Sang raja berkata: “Aku melihat bahwa meskipun aku mengusirnya keluar ke halaman, ia tidak takut akan kematian dan [bahkan] melakukan segala sesuatu tanpa makanan. Engkau harus membawa kedua kakak perempuannya, Miaoyan dan Miaoyin untuk pergi dan melihatnya, memintanya untuk mengubah jalan pikirannya. Dengan cara itulah ayah dan anak dapat bertemu lagi; jika tidak, maka […].

[…] pergi ke taman luar dan melihat Miaoshan duduk dengan tegap dan tanpa bergerak, tidak memperhatikan ibunya sama sekali. Sang ibu datang menghampirinya, menepuknya dan menangis keras-keras sambil berkata: “Sejak engkau meninggalkan istana, kedua mataku hampir saja buta, tubuh dalamku telah tercerai-berai. Bagaimana kamu bisa begitu tenang ketika engkau membawa ibumu dalam kondisi seperti ini? Ayahmu di kerajaan sangat takut, khawatir, hari-hari ini belum mengadakan pengadilan dan urusan kerajaan tidak dihadiri. Ia telah memberitahu ibu, Miaoyan dan Miaoyin untuk datang bersama-sama membujukmu: jika engkau memiliki pikiran belas kasih pada ayahmu, maka kembalilah […] praktek yang bagus.”

Miaoshan berkata: “Anakmu tidak mengalami penderitaan di sini – mengapa orang tuaku harus pergi sampai sejauh ini? Di [dalam] semua keterikatan batin yang ada di dunia ini, tidak ada istilah pembebasan. Jika keluarga dekat saling berkumpul, mereka pasti akan berpisah dan terpencar. Meskipun kedua orang tuaku bersama-sama terus sampai usia seratus tahun, ketidakkekalan akan datang menghampiri, dan mereka harus berpisah. Tenanglah, ibuku. Beruntung engkau memiliki kedua kakak perempuanku untuk menjagamu. Dengan tujuan apa ibu membutuhkan anak satu ini? Kembalilah ke dalam istana, karena anakmu ini tidak memiliki niat untuk kembali.”

Miaoyan dan Miaoyin lagi […]: “[…] Buddha? Ketika engkau melihat orang-orang sekarang yang meninggalkan keluarga mereka untuk menjadi bhiksuni, siapakah dari mereka yang dapat memancarkan cahaya dan membuat bumi bergetar, atau menjadi seorang Buddha atau sesepuh, membalas budi cinta kasih orang tua mereka dan menyelamatkan semua makhluk hidup? Tentu lebih baik untuk mengikuti jalan hidup manusia biasa menurut adat dan berkeluarga. Engkau telah membuat orangtuamu jengkel dan cemas!”

Mendengar kata-kata ini, Miaoshan berkata pada kedua kakak perempuannya: “Kalian mendambakan kehormatan dan kemuliaan, kalian terikat dalam cinta pernikahan dan kalian menikmati kesenangan pada masa sekarang tanpa menyadari bahwa kesenangan adalah sebab dari penderitaan. […] bergantung pada orang tua kalian, ini tidak bisa dilenyapkan. Pada waktu tersebut, bahkan jika engkau memiliki seorang suami, apakah ia mampu untuk mengambil posisimu? Kakakku, setiap dari kalian akan mengalami satu kehidupan dan satu kematian: tinjaulah diri kalian sekarang dan janganlah membujukku. Dengan tanda-tanda karma yang sangat terlihat di hadapan kalian, tidak ada yang bisa didapatkan dari penyesalan yang sia-sia. Bujuklah ibu kita agar kembali ke istana dan sampaikanlah pada sang raja ayah kita bahwa hal-hal kosong akan berakhir, namun ikrarku tidak memiliki akhir. Biarkanlah sang raja memutuskan jika aku harus hidup atau mati!”

Miaoyan dan Miaoyin kembali untuk memberitahukan […] ia akan menjadi bhiksuni. Sang ratu kembali dan melaporkan semua hal pada sang raja. Sang raja kemudian bahkan menjadi bertambah marah.

Raja Meminta Komunitas Bhiksuni Menolak Putrinya

Pada waktu itu terdapat seorang bhiksuni bernama Huizhen. Sang raja memanggilnya dan berkata padanya: “Putri termuda kami Miaoshan tidak akan mengikuti tradisi moral, namun bersikeras memohon untuk menjadi seorang bhiksuni. Tentu engkau yang bermaksud untuk membujuk anak perempuanku. Kami akan membiarkan anak perempuan termuda kami tinggal di viharamu selama tujuh hari. Jika kalian dapat menasehati dan mengajak anakku untuk mengikuti instruksiku maka kami akan dengan sempurna menghias […]. […] komunitas bhiksuni tidak ada yang selamat. “ Ia kemudian mengirim seorang utusan untuk menemani sang bhiksuni ke taman kerajaan dan memerintahkan anak perempuannya untuk pergi bersama dengan sang bhiksuni dan tinggal di arama (tempat tinggal) para bhiksuni.

Komunitas lima ratus bhiksuni mempersilahkannya ke dalam, di mana Miao Shan membakar dupa di hadapan rupang-rupang. Pada hari berikutnya, para bhikshuni berkata pada Miaoshan: “Engkau tumbuh dan besar di sebuah kerajaan, Miaoshan, mengapa engkau mencari kesunyian untuk dirimu? Lebih baik untuk kembali ke istana daripada tinggal bermeditasi di sebuah vihara.”

Miaoshan tersenyum ketika ia mendengar perkataan mereka dan berkata: “Aku pada mulanya [...][...], menyelamatkan semua makhluk. Namun sekarang aku melihat tingkat pengetahuan kalian seperti itu sehingga membuatku memandang rendah kalian. Bahkan jika kalian, yang merupakan anggota Sangha, dapat mengutarakan kata-kata seperti itu, maka berapa banyak umat awam yang akan mencelaku? Mungkin ada alasan bagi ayahku, sang raja, untuk tidak menyukai kalian semua dan melarang diriku menjadi seorang bhiksuni. Tentu kalian tahu apa arti dari kepala bundar dan jubah kotak (jubah Sangha) ini? Tujuan menjadi bhiksuni adalah untuk menjauhkan diri dari nama baik dan kemegahan, untuk membebaskan diri dari perasaan dan kemelekatan, untuk melenyapkan [...].[...] memiliki sedikit kecocokan dalam menjadi bhiksuni. [Guru] kita Sang Buddha, Sang Bhagava, dengan sangat jelas memberikan sila bagi mereka yang meninggalkan keluarga harus meletakkan tangan di atas kepala mereka dan meninggalkan perhiasan, mereka harus memakai jubah-jubah yang tidak berwarna-warni dan mencari penghidupan dengan membawa mangkuk dana. Lantas mengapa kalian semua mencari kemegahan dan kemewahan, tindakan menggairahkan, pakaian kalian indah dan gemilang? Kalian telah secara tidak bertanggung jawab memasuki Sangha, secara terbuka melanggar sila-sila yang murni, menerima dana dari umat dengan cara yang tidak semestinya, dengan sia-sia menghabiskan waktu kalian. Di bawah nama meninggalkan keluarga [...]. Ketika kalian semua menjadi bhiksuni, pikiran kalian tidak sesuai dengan di mana Dharma berada.”

Para bhiksuni, yang ditegur oleh Miaoshan, tidak dapat berkata-kata dan tidak dapat menjawab. Pada waktu tersebut, Huizhen, yang paling perhatian, berkata pada Miaoshan: “Ketika para bhiksuni memprotesmu, mereka hanya berada di bawah perintah dari sang raja.” Ia kemudian memberikan surat perintah raja yang telah dikeluarkan sebelumnya, dan memohon pada Miaoshan, untuk segera mengubah pikirannya dan menolong komunitas para bhiksuni ini, untuk menghindari bencana yang akan datang pada anggota Sangha.

Miaoshan berkata: “Tentu engkau [...]. [...] Sang Pangeran Bodhisattva [Sang Buddha pada kehidupan lampau] menjatuhkan dirinya dari tebing untuk memberi makan harimau, dan mencapai tingkatan tanpa-kelahiran. Raja Sivi memotong dagingnya sendiri untuk menolong seekor merpati, mencapai pencerahan di pantai seberang (Nirvana). Karena kalian semua telah meninggalkan keluarga, maka kalian harus memandang tubuh ilusi ini sebagai tidak kekal dan tidak disukai, empat elemen utama pada hakekatnya tidak eksis. Setiap pikiranmu harus bebas dari samsara (roda kelahiran dan kematian), semua pikiran kalian haruslah mencari pembebasan. Kenapa kalian takut pada kematian dan mencintai kehidupan, atau masih bertahan di kantung kulit yang kotor dan bau tersebut? Tentu kalian tahu bahwa para makhluk menderita karena nafsu [...] buah karma. Satu-satunya harapanku adalah bahwa hati raja beraspirasi untuk dapat bebas dari kematian. Tenanglah, ketika aku telah mencapai pencerahan, aku akan menyelamatkan kalian dari samsara. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Ketika para bhiksuni mendengar ujaran tersebut, mereka bersama-sama saling berdebat, dan berkata: “Miaoshan lahir di istana dan tidak mengetahui sama sekali kesulitan di luar. Ia berpikir bahwa menjadi bhiksuni adalah hal yang menyenangkan. Kita harus membebaninya dengan tugas-tugas yang berat dan rendah, sehingga ia akan menyesal dan ketakutan.” Setelah berkata ini, mereka memberitahu Miaoshan: “Karena keinginanmu untuk menjadi seorang bhiksuni, maka engkau harus [...]” [...] bekerja keras. Pertama ia pergi ke dapur untuk menjalankan tugas-tugasnya. Setiap pekerjaan yang orang lain tidak dapat lakukan, dapat dikerjakannya seorang diri.

Para bhiksuni berkata: “Tidak ada sayuran di taman dapur, dan engkau harus menyediakan beberapa. Harus ada cukup sayur pada waktu yang telah ditentukan, apapun kondisi persediaannya.” Miaoshan pergi ke taman dan ia melihat memang hanya ada sedikit sayuran. Ia kemudian berpikir bagaimana ia dapat menyediakan cukup makanan buat semua bhiksuni keesokan harinya. Ketika pikiran tersebut muncul dalam pikirannya, seekor naga di vihara tersebut membantunya dengan kekuatan gaib dan ketika pagi datang, sayuran di taman menjadi banyak dan cukup bagi kebutuhan dan dengan [...]. [...] mengambil air adalah tugas yang sangat berat, namun di samping semua itu Miaoshan melakukan keajaiban di samping dapur, di mana air mancur muncul keluar, rasanya menjadi yang paling manis. Huizhen mengetahui bahwa putri tersebut bukanlah manusia biasa, karena ia dapat memanggil bantuan dari naga. Jadi sekarang ia memberitahukan hal tersebut pada sang raja.

Dan sang raja, ayahnya, dikuasai amarah dan memberitahu para penghuni istana: “Anak perempuan termuda kita sudah lama mempraktekkan ilmu hitam. Ketika aku mengusirnya untuk tinggal di tempat para bhiksuni, ia melakukan sihir lagi, menciptakan kebingungan dan kekacauan di antara masyarakat. Memberikan penghinaan pada kita [...].

Raja Menghancurkan Vihara dan Komunitas Bhiksuni

Ketika utusan datang, Miaoshan mematuhi perintah kerajaan dan berkata pada komunitas bhiksuni: “Undurkanlah diri kalian semua. Aku akan dieksekusi.” Miaoshan kemudian keluar untuk menemui kematiannya. Pada saat itu, ketika ia hampir saja terkena bilah pedang, dewa gunung dari Gunung Naga, yang mengetahui bahwa Miaoshan, Bodhisattva yang berkekuatan hebat, berada pada kondisi akan menyelesaikan karir spiritualnya dan menyelamatkan banyak makhluk, namun ayahnya yang jahat melakukan kekeliruan dengan memberikan perintah untuk memenggal Miaoshan, dengan kekuatan dewanya, (sang dewa gunung) membuat langit menjadi gelap dengan angin yang sangat kencang, halilintar dan petir. Ia membawa pergi Miaoshan dan menempatkannya di kaki gunung. Sang utusan, tidak mengetahui di mana Miaoshan, pergi dengan terburu-buru untuk melaporkan hal tersebut pada raja.

Sang raja, kaget dan marah, mengirim lima ratus prajurit untuk memenggal seluruh komunitas bhiksuni dan membakar semua bangunan mereka. Permaisuri dan para anggota keluarga kerajaan semuanya menangis tersedu-sedu, berkata bahwa anak perempuannya telah meninggal dan tidak ada harapan untuk selamat. Sang raja berkata pada istrinya: “Janganlah bersedih. Anak gadis itu bukanlah keturunanku. Ia pastilah seorang iblis yang terlahir di dalam keluargaku. Kita harus memusnahkan iblis tersebut karena ini adalah sebab dari kebahagiaan yang sangat besar!”

Bertapa di Gunung Xiangshan

Miaoshan, yang telah dibawa pergi dengan kemampuan batin ke kaki Gunung Naga, melihat sekelilingnya dan melihat bahwa tidak ada seorangpun di sana. Kemudian dengan langkah pelan ia mendaki gunung tersebut. Tiba-tiba ia merasakan bau yang busuk dan tidak mengenakkan, dan kemudian berpikir: “Hutan pegunungan ini terpencil dan sunyi: mengapa ada bau seperti ini?” Dewa gunung muncul dalam wujud seorang laki-laki tua dan menemui Miaoshan dengan berkata: “Gadis baik, kemanakah engkau ingin pergi?”

Miaoshan berkata “Aku berkinginan untuk pergi ke atas gunung ini untuk mempraktekkan Dharma.” Laki-laki tua tersebut berkata: “Gunung ini adalah tempat tinggal para hewan dengan cangkang dan rangka, kulit dan bulu. Ini bukanlah tempat untukmu untuk berlatih, gadis baik.”

Miaoshan bertanya: “Apa nama gunung ini?” Laki-laki tua tersebut berkata: “Ini adalah Gunung Naga. Naga-naga tinggal di gunung ini, maka gunung ini dinamakan berdasarkan mereka.”

“Bagaimana dengan pegunungan disebelah barat dari sini?” Ia menjawab: “Itu juga kediaman para naga, dan oleh karena alasan ini pegunungan tersebut disebut sebagai Pegunungan Naga Kecil. Hanya di antara dua pegunungan di sana, terdapat bukit kecil bernama Xiangshan. Tempat itu suci dan bersih, sebuah tempat yang cocok bagimu untuk melakukan latihan, gadis baik.”

Miaoshan berkata: “Siapakah dirimu, yang menunjukkan padaku tempat untuk tinggal?” Sang laki-laki tua tersebut berkata: “Pengikutmu ini bukanlah seorang manusia, namun dewa di gunung ini. Engkau, gadis baik, akan menyelesaikan karir spiritualmu dan aku sebagai pengikutmu berikrar akan melindungi dan menjagamu.” Selesai mengucapkan kata-kata ini, ia lenyap.

Miaoshan sekarang pergi ke Xiangshan, mendaki ke puncaknya dan melihat sekeliling. Tempat itu sungguh tenang, tidak ada jejak manusia satu pun dan ia berkata pada dirinya: “Tempat ini sesuai untuk karir pencerahanku.” Maka ia pergi ke puncak dan membangun sebuah tempat tinggal untuknya berlatih. Ia memakai rerumputan sebagai pakaian, makan dari pohon-pohon dan tidak ada orang yang mengetahui keberadaanya selama tiga tahun penuh.

Penyakit Raja dan Penyembuhannya

Sementara itu ayahnya sang raja menderita penyakit kamala (sakit kuning) karena karma buruknya. Penyakit itu menyebar di seluruh kulit dan tubuhnya dan ia tidak dapat tidur nyenyak. Tabib-tabib terbaik di kerajaan tersebut tidak dapat menyembuhkannya. Permaisuri dan keluarga kerajaan mengkhawatirkannya pagi dan malam.

Suatu hari seorang bhiksu asing berdiri di depan istana bagian dalam dan berkata: “Aku punya obat ajaib yang dapat menyembuhkan penyakit sang raja.” Ketika orang-orang raja mendengar kata-kata tersebut, mereka dengan segera melaporkan hal tersebut pada raja dan ketika ia mendengar hal tersebut, mengundang masuk sang bhiksu ke istana bagian dalam.

Sang bhiksu berkata padanya: “Aku, seorang bhiksu miskin, mempunyai obat untuk menyembuhkan penyakit baginda.” Sang raja berkata: “Obat apakah yang engkau miliki untuk menyembuhkan penyakitku?” Sang bhiksu berkata: “Aku mempunyai resep yang membutuhkan dua bahan ramuan obat utama.”

Sang raja bertanya apakah itu dan bhiksu tersebut menjawab: “Obat ini dapat dibuat dengan menggunakan tangan dan mata dari seseorang yang tidak memiliki amarah.” Sang raja berkata: “Jangan berbicara sembrono. Jika aku mengambil tangan dan bola mata seseorang, bukankah mereka pasti akan marah?”

Bhiksu tersebut berkata: “Orang seperti itu tidak ada di kerajaanmu.” Sang raja bertanya: “Di manakah tangan dan bola mata tersebut berada?” dan bhiksu tersebut menjawab: “Di barat daya dari wilayah kekuasaanmu ada sebuah pegunungan bernama Xiangshan. Di puncaknya terdapat pertapa yang menjalankan latihan dengan kebajikan yang luar biasa, meskipun tidak ada orang yang mengetahui hal tersebut. Orang ini tidak mempunyai amarah.”

Sang raja berkata: “Bagaimana caranya tangan dan bola mata sang pertapa didapatkan?” Bhiksu tersebut berkata: “Tidak ada seorangpun yang dapat mencarinya: tangan dan bola mata tersebut ada hanya untukmu sang raja. Di masa lampau, pertapa ini memiliki jodoh karma yang sangat dekat denganmu. Dengan mendapatkan kedua tangan dan bola matanya, penyakit Baginda akan sembuh segera, tanpa keraguan sama sekali.”

Ketika ia mendengar hal ini, sang raja membakar dupa dan mengucapkan doa ini: “Jika penyakit mengerikan ini memang dapat tersembuhkan, semoga pertapa ini memberikan padaku kedua tangan dan bola matanya tanpa keraguan ataupun dendam.” Doanya selesai, ia memerintahlan seorang utusan untuk pergi, dengan membawa dupa, ke atas pegunungan.

Ketika sang utusan datang ia melihat, di dalam rumah jerami, terdapat seorang pertapa yang tubuhnya agung dan mengesankan, duduk bersila di sana. Ia membakar dupa dan mengucapkan titah raja: “Raja dari kerajaan menderita penyakit kamala selama tiga tahun sampai sekarang. Para tabib hebat, semua obat-obatan di seluruh kerajaan tidak dapat menyembuhkannya. Seorang bhiksu telah memberikan sebuah resep: dengan menggunakan kedua tangan dan bola mata dari seseorang yang tidak memiliki amarah, maka obat dapat dibuat. Dan sekarang, dengan penghormatan yang sangat dalam, kami telah mendengar tentangmu, pertapa suci, berpraktek Dharma dengan kebajikan yang luar biasa dan kami percaya bahwa engkau pastilah tidak memiliki amarah. Kami memberanikan diri memohon padamu (agar memberikan) kedua lengan dan bola matamu untuk menyembuhkan penyakit sang raja.”

Sang utusan membungkuk bernamaskara dua kali dan Miaoshan berpikir: “Ayahku sang raja tidak menghormati Triratna, ia menyiksa dan menekan ajaran Buddha, ia membakar bangunan-bangunan vihara, ia membunuh komunitas para bhiksuni. Ia mengundang akibat penyakit ini. Dengan kedua tangan dan bola mataku, aku akan menyelamatkan sang raja dari kesusahannya.”

Setelah berpikir seperti ini, ia berkata pada utusan tersebut: “Ini pastilah karena penolakan rajamu untuk yakin pada Triratna yang menyebabkannya menderita penyakit jahat ini. Aku akan memberikan kedua tangan dan bola mataku sebagai obat untuknya. Satu-satunya harapanku adalah bahwa obat tersebut dapat cocok dengan penyakit yang dideritanya dan dapat melenyapkan penyakit sang raja. Sang raja harus mengarahkan pikirannya menuju pencerahan dan berikrar untuk berlindung di bawah Triratna: barulah ia akan mendapatkan kesembuhan.”

Selesai mengucapkan kata-kata ini, ia mengeluarkan kedua bola matanya dengan menggunakan sebilah pisau, kemudian berkata pada utusan tersebut untuk memotong kedua tangannya. Pada saat tersebut, seluruh pegunungan bergetar dan dari angkasa terdengar suara berkata padanya: “Langka, sungguh langka! Ia mampu menyelamatkan semua makhluk hidup, dengan melakukan hal-hal yang tidak mungkin di dunia ini!”

Utusan tersebut menjadi ketakutan, namun sang pertapa berkata: “Janganlah takut. Ambillah kedua tangan dan mataku dan beritakanlah kembali pada sang raja. Ingatlah apa yang aku katakan.”

Utusan tersebut menerimanya dan memberitahu kejadian tersebut pada sang raja. Ketika sang raja menerima kedua tangan dan bola mata tersebut ia merasa sangat malu. Ia meminta sang bhiksu untuk meramu obat tersebut, dan kemudian ia meminumnya. Belum sepuluh hari berlangsung, ia telah benar-benar sembuh dari penyakitnya. Sang raja beserta permaisuri, keluarganya, para menteri dan semua pengikut di kerajaannya, semuanya bergembira.

Sang raja pergi bertemu bhiksu tersebut untuk memberikan padanya benda-benda sebagai ucapan terima kasih, berkata: “Tidak seorangpun tetapi engkau, Guru, dapat menyelamatkan kami dari penyakit yang berat.” Sang bhiksu berkata: “Itu bukanlah kekuatanku. Bagaimana bisa raja menjadi sembuh tanpa kedua tangan dan bola mata sang pertapa? Baginda harus pergi ke pegunungan Xiangshan untuk memberikan rasa terima kasih pada pertapa tersebut. “ Selesai dengan kata-katanya, bhiksu tersebut lenyap.

Sang raja menjadi terkejut. Ia kemudian beranjali dan berkata: “Sungguh langka sebuah sebab sehingga kita dapat menggerakkan seorang bhiksu suci untuk datang dan menyelamatkanku!” Dan ia memerintahkan orang-orangnya: “Besok aku akan pergi mengunjungi Xiangshan dan memberikan persembahan sebagai tanda terima kasih pada sang pertapa.”

Pertemuan Kembali Dengan Keluarga

Keesokannya sang raja dengan permaisurinya, dua anak perempuan dan para anggota kerajaan menyiapkan kereta kuda dan pergi keluar dari tembok kerajaan dan datang ke Xiangshan. Sang raja membakar dupa dan memberikan ucapan terima kasih dengan berkata: ”Ketika kami menderita penyakit mengerikan tersebut, kami tidak mungkin sembuh tanpa kedua tangan dan bola matamu, pertapa. Maka hari ini, aku sendiri datang dengan kerabat terdekatku untuk mengunjungi pegunungan ini dan mengucapkan terima kasih padamu.”

Ketika sang raja beserta istri dan putri kerajaan semuanya datang memandang sang pertapa yang tanpa tangan dan mata, pikiran mereka menjadi sedih, karena cacat fisik sang petapa disebabkan oleh sang raja. Sang permaisuri beberapa saat meneliti penampakan petapa tersebut, melihat karakteristik fisik pertapa tersebut dan berkata pada raja: “Ketika aku melihat wujud dan perawakan dari pertapa tersebut, ia tampak seperti anak perempuan kita.” Selesai dengan kata-kata ini sang permaisuri kemudian menjadi sesenggukan dipenuhi dengan air mata dan ratapan.

Sang pertapa tiba-tiba berkata. “O ibuku! Janganlah kembalikan pikiramu pada Miaoshan: Aku adalah dirinya. Ketika ayahku sang raja menderita penyakit berat, anakmulah yang memberikan kedua tangan dan bola matanya untuk membalas kasih sayang sang raja.” Mendengar kata-kata ini, sang raja dan permaisurinya memeluk Miaoshan dengan tangisan yang keras, menggemparkan langit dan bumi dengan kesedihan mereka.

Sang raja berkata: “Tindakan jahat kami telah menyebabkan anak perempuanku kehilangan kedua tangan dan bola matanya dan harus mengalami penderitaan ini. Aku akan menjilat kedua mata anakku dengan lidahku dan menyatukan kedua tangannya dan memohon pada para dewa di surga untuk membuat kedua mata anakku yang buta untuk tumbuh kembali, lengannya yang terputus sekali lagi menjadi utuh!”

Ketika sang raja menunjukkan keteguhan hatinya ini, namun sebelum mulutnya menyentuh kedua mata anaknya, Miaoshan tiba-tiba tidak dapat ditemukan. Tepat pada saat itu langit dan bumi berguncang, cahaya kemudian memancar keluar, awan-awan pertanda baik muncul, drum-drum surgawi terdengar. Dan kemudian terlihatlah Sahasrabhujasahasranetra Mahamaitri Mahakaruna Avalokitesvara [salah satu perwujudan Avalokitesvara dengan seribu tangan dan seribu mata], tenang dan agung wujudnya, memancarkan cahaya yang mempesonakan, menakjubkan dan sangat indah bagaikan bulan di antara bintang-bintang.

Ketika sang raja beserta istrinya dan putri kerajaan memandang wujud Sang Bodhisattva, mereka bangkit dan memukul diri mereka sendiri, menghantam dada mereka dengan ratapan yang sangat keras dan membangkitan suara mereka dalam penyesalan: “Kami para pengikutmu dengan mata duniawi kami gagal untuk mengenali Yang Maha Suci. Karma buruk telah mengganggu pikiran kami. Kami berdoa padamu agar perlindungan keselamatanmu membebaskankami dari tindakan salah kami pada masa lampau. Mulai dari saat ini, kami akan berlindung pada Triratna, kami akan membangun kembali vihara-vihara Buddhis. Kami berdoa padamu, Bodhisattva, dalam welas asihmu, untuk kembali ke tubuh asal anda dan mengizinkan kami untuk memberikan persembahan.”

Dengan segera sang pertapa kembali ke wujud asalnya, dengan kedua tangan dan matanya kembali utuh dan lengkap. Ia duduk bersila, beranjali dan dengan tenang meninggal dunia, seperti ketika bermeditasi.

Sang raja dan permaisuri membakar dupa dan berikrar: “Kami pengikutmu akan memberikan persembahan kayu wangi, akan memasukkan tubuh sucimu ke dalam api kremasi dan ketika kami kembali ke istana, kami akan akan membangun sebuah stupa dan selalu memberikan persembahan di depan stupa tersebut.”

Setelah membuat ikrar demikian, sang raja mengelilingi tubuh suci tersebut dengan berbagai jenis dupa suci, menyalakan api dan membakarnya. Kayu wangi tersebut terbakar , namun tubuh suci tersebut masih berdiri dengan teguh dan tidak dapat berpindah. Sang raja membuat ikrar lain: “Pastilah ini karena Sang Bodhisattva tidak akan pergi dari tempat ini, berharap agar semua makhluk hidup dapat melihat dan mendengar dan membuat persembahan.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, raja beserta istrinya bersama-sama mengangkat tubuh tersebut dan tiba-tiba menjadi ringan diangkat.

Pendirian Vihara dan Pagoda di Gunung Xiangshan

Sang raja kemudian dengan tulus mendirikan sebuah vihara megah di mana di dalamnya ia letakkan tubuh suci sang Bodhisattva dan di luarnya ia membangun sebuah stupa berharga. Dengan segala ketenangan, ia mengubur anak perempuannya tersebut di puncak gunung, di bawah lokasi pertapaannya. Dan di atas pegunungan, bersama dengan permaisuri dan kerabatnya, ia mengawasi dan menjaganya sepanjang siang dan malam, tanpa tidur. Setelah cukup lama, ia kembali ke kerajaanya dan membangun kembali vihara-vihara Buddhis, meningkatkan jumlah penahbisan bhiksu dan bhiksuni, menghormat pada Triratna. Ia mengambil harta pribadinya dan membangun pagoda tiga belas lantai di Xiangshan, untuk menutupi tubuh suci Sang Bodhisattva.

Guru, engkau telah bertanya pada pengikutmu tentang jejak suci Sang Bodhisattva dan aku telah memberikan ringkasan dari kisah yang sangat panjang. Tentang inkarnasi rahasia dari sang Bodhisattva, tidak diketahui olehku.”

Guru Lu kemudian bertanya lagi: “Di manakah lokasi stupa berharga di Gunung Xianshan sekarang berada?”

Dewa tersebut berkata: “Stupa tersebut telah lama ditinggalkan. Sekarang hanya ada pagoda dan tidak seorangpun yang tahu tentang keberadaanya. Jejak yang ditinggalkan di tanah oleh seorang suci berkembang dan merosot tergantung oleh waktu. Setelah tiga ratus tahun akan ada kebangkitan.”

Setelah mendengar hal ini, Sang Guru Lu beranjali dan mengutarakan kata-kata pujian: “Sungguh agung kekuatan spiritual dari Bodhisattva Avalokitesvara! Jika tidak oleh karena agungnya ikrar Sang Bodhisattva, maka tanda-tanda seperti ini tidak akan terwujud. Jika makhluk hidup di kerajaan tersebut tidak membawa kematangan kondisi karma mereka, mereka tidak akan dapat merespon hal tersebut. Betapa kuat, kebajikan tanpa batas ini! Tidak dapat dibayangkan!”

Ia memberitahu muridnya, Yicheng untuk mencatatnya, pada hari kelimabelas bulan kedua musim panas pada tahun kedua Shengli (20 April 699 M) dan berharap bahwa kisah ini akan terus bertahan dan diteruskan.

Ditulis pada bulan ketiga dari tahun ketiga Yuanfu (Mei 1100 M).

Makna Legenda Miaoshan

Dalam kisah Miaoshan di atas, terlepas apakah benar-benar terjadi dalam sejarah atau tidak, terpendam banyak sekali moralitas dan prinsip yang berfungsi sebagai pedoman dan inspirasi untuk pengembangan diri dan kemapanan sosial. Hanya beberapa makna sederhana dan relevan saja yang akan dijabarkan di sini, yaitu:

  1. Posisi wanita: Sementara Guan Yin melambangkan idola kewanitaan Cina, Miaoshan melambangkan wanita yang menderita dalam dunia dominasi pria. Akhirnya, kebajikannya sendirilah yang menyelamatkannya. Kemudian dia malah balik menyelamatkan orang yang tadinya menyengsarakan dirinya.
  2. Sulitnya berbuat baik: Legenda Miaoshan menunjukkan bahwa kadangkala seseorang harus menjalani cobaan dan derita sebelum memperoleh pengembangan spiritual. Dalam beberapa hal, seseorang itu “diuji”. Jika orang itu bersungguh hati, semua kesukaran bukanlah masalah atau merupakan suatu “berkah yang tersembunyi”.
  3. Orang baik akan ditolong: Jika seseorang itu tulus hati, pertolongan akan datang dari bermacam sumber, bahkan yang tak terduga sekalipun. Contohnya, ketika Miaoshan akan dipenggal algojo ayahnya, tiba-tiba dewa gunung menyelamatkannya.
  4. Keseimbangan emosi dan akal budi: Masyarakat kebanyakan tidak begitu tertarik dengan filosofi religius dibandingkan dengan upacara religius. Lewat Guan Yin, orang biasa bisa melihat bahwa mereka bisa mengatasi masalah sehari-hari dengan lebih mudah. Di atas semua itu, mereka disediakan cara untuk menyalurkan emosi — sebuah sistem psikologis yang bebas dari perasaan takut dan bersalah dari sistem teistis mutlak.
  5. Kebenaran mutlak: Dalam kisah Miaoshan di atas kita dapat menarik beberapa nilai kebenaran yang diajarkannya, misalnya tentang ketidakkekalan hidup ini, ketidakterikatan pada hal-hal duniawi, kekosongan diri atau ketanpa-akuan.

1. Avalokitesvara: Asal, Perwujudan, dan Makna oleh Bhikkhu Piyasilo Mahathera.

2. Perwujudan Wanita Avalokitesvara oleh Upasaka Vimala Dhammo.

Dedi Shen