Beranda » Kisah Pengkhianatan Pang Tibang

Kisah Pengkhianatan Pang Tibang



Ia datang sebagai pesulap yang mampu menarik simpati kalangan istana kerajaan Aceh. Karena kepiawannya Ia pun semakin mantap menancapkan pengaruhnya di istana, setelah Sultan Mahmud Alauddin Syah (1871-1874) mengangkatnya sebagai syahbandar di pelabuhan Aceh. Karena jabatan itu, ia pun diberi gelar kehormatan, layaknya seorang bangsawan, Teuku Panglima Maha Raja Tibang Muhammad, yang sepanjang masa dikenang oleh bangsa Aceh sebagai pengkhianat, yang menggunting dalam lipatan.


Pengkhianatan Panglima Tibang, bermula ketika ia ditunjuk oleh Sultan Aceh, untuk memimpin utusan kerajaan Aceh yang akan berunding dengan Belanda di Riau, agar pihak Belanda sebaiknya datang ke Aceh pada Desember 1872. Hal itu merupakan upaya kerajaan Aceh untuk mengulur-ngulur waktu, sambil mempersiapkan kerja sama dengan Amerika dan Italia dalam menghadapi Belanda.


Setelah utusan sultan pulang dari Turki di bawah pimpinan Perdana Menteri Kerajaan Aceh merangkap Mangkubumi Habib Abdurrahman el Zahir. Persaingan politik pun terjadi. Panglima Tibang bermaksud menancapkan pengaruhnya kepada sultan untuk mengalahkan Habib. Untuk itu ia menuju Singapura. Dalam perjalanan pulang, ia menghubungi utusan Amerika dan Italia, guna memperoleh bantuan untuk menghadapi peperangan melawan Belanda. Armada Amerika yang berada di Hongkong, di bawah pimpinan Laksamana Jenkis pun setuju untuk membantu Aceh berperang dengan Belanda.


Namun informasi itu akhirnya diketahui oleh pihak Belanda. Memahami akibat yang lebih jauh andaikata perjanjian antara Aceh dengan Amerika dan Italia terwujud, maka Belanda pun mendahuluinya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, James Loudon, pada Pertengahan Februari 1873 pun mengirimkan armadanya ke Aceh. Apalagi setelah Belanda mendapat informasi bahwa armada Amerika di bawah pimpinan Laksamana Jenkins akan berangkat dari Hongkong menuju Aceh pada Maret 1873.


Menghadapi situasi seperti itu, para diplomat Aceh di Pulau Penang, Malaysia pun membentuk Dewan Delapan, yang terdiri dari empat orang bangsawan Aceh, dua orang Arab dan dua orang keling kelahiran Pulau Pinang. Dewan Delapan tersebut bertindak mewakili kepentingan Aceh di luar negeri. Di antaranya, menjalin diplomasi dengan negara-negara asing, mencari perbekalan perang dan mengangkutnya ke Aceh dengan menembus blokade angkatan laut Belanda yang sudah menguasai Selat Malaka.


Akhirnya pada Rabu 26 Maret 1873, bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah, dari geladak kapal perang Citadel van Antwerpen, yang berlabuh antara Pulau Sabang dan daratan Aceh, Belanda menyatakan maklumat perangnya dengan Aceh, karena Aceh menolak mengakui kedaulatan Belanda. Maklumat perang itu diumumkan oleh Komisaris Pemerintah, merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N Nieuwenhuijzen.


Ia dipercayakah sebagai syahbandar. Guna menghadapi serangan Belanda, ia diutus untuk melakukan perjalanan diplomasi ke luar negeri. Tapi di luar negeri ia balik menyerang Aceh bersama Belanda. Seumur masa ia dicap pengkhianat.


Ramasamy, seorang pemuda dari India selatan, suatu ketika singgah di pelabuhan kerajaan Aceh. Ia hanya seorang perantau yang punya keahlian sebagai pesulap. Berbekal keahliannya itu pula, ia mampu menarik simpati masyarakat Aceh di pelabuhan. Keahliannya main sulap akhirnya sampai juga ke istana kerajaan Aceh Darussalam. Dalam sebuah perhelatan ia pun diundang untuk menunjukkan kebolehannya itu.



Pemuda pengembara itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Melalui pertunjukan sulapnya, ia berhasil masuk istana. Kesempatan itu pula yang digunakannya untuk menarik simpati raja Aceh. Hal itu pun dituainya, setelah ia memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad. Sebagai mualaf, biaya hidupnya ditanggung kerajaan.


Ia pun semakin mantap menancapkan pengaruhnya di istana, setelah Sultan Mahmud Alauddin Syah (1871-1874) mengangkatnya sebagai syahbandar di pelabuhan Aceh. Karena jabatan itu, ia pun diberi gelar kehormatan, layaknya seorang bangsawan, Teuku Panglima Maha Raja Tibang Muhammad, yang sepanjang masa dikenang oleh bangsa Aceh sebagai pengkhianat, yang menggunting dalam lipatan.




Pengkhianatan Panglima Tibang, bermula ketika ia ditunjuk oleh Sultan Aceh, untuk memimpin utusan kerajaan Aceh yang akan berunding dengan Belanda di Riau, agar pihak Belanda sebaiknya datang ke Aceh pada Desember 1872. Hal itu merupakan upaya kerajaan Aceh untuk mengulur-ngulur waktu, sambil mempersiapkan kerja sama dengan Amerika dan Italia dalam menghadapi Belanda.


Setelah utusan sultan pulang dari Turki di bawah pimpinan Perdana Menteri Kerajaan Aceh merangkap Mangkubumi Habib Abdurrahman el Zahir. Persaingan politik pun terjadi. Panglima Tibang bermaksud menancapkan pengaruhnya kepada sultan untuk mengalahkan Habib. Untuk itu ia menuju Singapura. Dalam perjalanan pulang, ia menghubungi utusan Amerika dan Italia, guna memperoleh bantuan untuk menghadapi peperangan melawan Belanda. Armada Amerika yang berada di Hongkong, di bawah pimpinan Laksamana Jenkis pun setuju untuk membantu Aceh berperang dengan Belanda.


Namun informasi itu akhirnya diketahui oleh pihak Belanda. Memahami akibat yang lebih jauh andaikata perjanjian antara Aceh dengan Amerika dan Italia terwujud, maka Belanda pun mendahuluinya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, James Loudon, pada Pertengahan Februari 1873 pun mengirimkan armadanya ke Aceh. Apalagi setelah Belanda mendapat informasi bahwa armada Amerika di bawah pimpinan Laksamana Jenkins akan berangkat dari Hongkong menuju Aceh pada Maret 1873.


Menghadapi situasi seperti itu, para diplomat Aceh di Pulau Penang, Malaysia pun membentuk Dewan Delapan, yang terdiri dari empat orang bangsawan Aceh, dua orang Arab dan dua orang keling kelahiran Pulau Pinang. Dewan Delapan tersebut bertindak mewakili kepentingan Aceh di luar negeri. Di antaranya, menjalin diplomasi dengan negara-negara asing, mencari perbekalan perang dan mengangkutnya ke Aceh dengan menembus blokade angkatan laut Belanda yang sudah menguasai Selat Malaka.


Akhirnya pada Rabu 26 Maret 1873, bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah, dari geladak kapal perang Citadel van Antwerpen, yang berlabuh antara Pulau Sabang dan daratan Aceh, Belanda menyatakan maklumat perangnya dengan Aceh, karena Aceh menolak mengakui kedaulatan Belanda. Maklumat perang itu diumumkan oleh Komisaris Pemerintah, merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N Nieuwenhuijzen.


Tindak lanjut dari maklumat perang tersebut, pada Senin 6 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler, dengan kekuatan enam kapal perang, dua kapal angkutan laut, lima barkas, delapan kapal peronda, satu kapal komado, dan lima kapal layar, melakukan pendaratan di Pante Ceureumen, yang disambut dengan perlawanan rakyat Aceh. Maka perang pun berkecamuk.



Tak tanggung-tanggung, dalam agresi pertama itu, Belanda mengerahkan 168 perwira, 3.198 pasukan, 31 ekor perwira berkuda, 149 pasukan berkuda, 1.000 orang pekerja paksa, 50 orang mandor, 220 orang wanita, 300 orang pelayan. Perang dengan Belanda pun terus berlanjut.


Namun di tengah usaha Aceh melawan agresi Belanda tersebut, pada tahun 1879, Panglima Tibang yang dipercayakan sultan untuk menggalang diplomasi di luar negeri, berbalik arah. Ia meninggalkan rekan seperjuangannya, bergabung dengan Belanda untuk kemudian menyerang Aceh. Kepercayaan yang diberikan raja Aceh kepadanya pun dibalas dengan pengkhianatan. Tak pelak, nama Panglima Tibang sampai kini tertoreh di sanubari rakyat Aceh sebagai pengkhianat yang tak terampuni.


Pelabelan nama Panglima Tibang sebagai pengkhianat nomor wahid pun terus berlanjut sampai kini. Dalam sejarah konflik Aceh, tak terkecuali ditubuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) nama Panglima Tibang selalu diberikan kepada orang-orang yang berkhianat atau menyerah kepada pemerintah. Sebuah label yang nilai kebenciannya melebihi cap cuak, sipil yang menjadi informan terhadap tentara. Kisah pengkhianatan Panglima Tibang itu, kini menjadi catatan kelam sejarah Aceh.

Referensi:

1. Prof. Dr Aboe Bakar Atjeh, dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” Panitia PKA II, Agustus 1972

2. M Nur El Ibrahimi dalam “Selayang Pandang Diplomasi Kerajaan Aceh”