Beranda » Kartini: Pejuang Islam ataukah Penganut Theosofi?

Kartini: Pejuang Islam ataukah Penganut Theosofi?



Buku "Gerakan Theosofi di Indonesia" yang ditulis oleh Artawijaya dan diterbitkan oleh Penerbit Al Kautsar. Dalam pembahasannya tentang Kartini, Artawijaya mengulas surat-surat Kartini dan menurut analisa beliau, Kartini kemungkinan adalah anggota Theosofi atau paling tidak terpengaruh oleh pemikiran Theosofi yang berakar dari Freemasonry.

Kartini disebutkan sebagai pejuang wanita yang mencoba memperjuangkan nilai-nilai Islam. Sebenarnya manakah yang benar: apakah Kartini seorang Theosof; terpengaruh oleh Theosofi, ataukah Kartini seorang priyayi Jawa yang mencoba memperjuangkan nilai-nilai Islam dari belenggu adat?


Nama Theosofi sendiri diambil dari bahasa latin: Theos yang berarti “God” (Tuhan) dan Sophia yang berarti “wisdom” (Kebijaksanaan). “God” dalam pemahaman Theosofi tidak berarti satu, tetapi merujuk pada setiap hal yang dianggap sebagai “Tuhan”. Karena itu, Tuhan dalam kepercayaan Theosofi punya banyak nama: God, Yahweh, Allah, dll. Theosofi berkeyakinan bahwa setiap agama sama benar, dan menuju pada Tuhan yang sama.

Doktrin ini sekarang serupa dengan gagasan ide Pluralisme Agama. Sedangkan jauh sebelum theosofi, nilai penyatuan agama-agama di dengungkan lewat nama Perenialisme.

Jika melihat definisi itu kita bisa mendudukkan masalah dengan mengacu kepada sederetan ucapan-ucapan Kartini kepada Ny. Abendanon yang dituangkan dalam surat-suratnya. Saya coba akan lampirkan dibawah ini:

”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan,adalah bunyi tanpa makna.” (Surat Kartini Kepada E.C Abendanon, 15 Agustus 1902)

”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain.” (Surat 31 Januari 1903)

"Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.” (Surat kepada E.C Abendanon, 31 Januari 1903).

Nyonya Abendanon sendiri tempat Kartini bercerita, adalah seorang wanita yang ditugaskan oleh Belanda sebagai Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan. Abendanon tercatat banyak meminta nasihat dari seorang orientalis kawakan bernama Snouck Hurgronye. Menurut Hurgronye, golongan yang paling keras perlawanannya kepada Belanda adalah golongan Islam.

Memasukkan peradaban Barat dalam masyarakat pribumi adalah cara yang paling jitu untuk mengatasi pengaruh Islam. Tidak mungkin membaratkan rakyat kecuali jika ningratnya dibaratkan terlebih dahulu. Untuk tujuan itu, langkah pertama yang harus diambil adalah mendekati kalangan ningrat terutama yang Islamnya teguh untuk kemudian dibaratkan. Hungronye menyarankan kepada Abendanon agar membaratkan Kartini.

Artawijaya sendiri dalam bukunya Gerakan Theosofi di Indonesia seperti anda katakan memang mengarah pada dugaan kemungkinan, namun secara jelas menyimpukan ahwa Kartini pada kategori terpengaruh Theosofi.

Sedangkan apakah Kartini sebagai wanita juga menyuarakan hak-hak nilai Islam? Jawaban ini memang sempat diungkapkan oleh Profesor Ahmad Mansyur Suryanegara. Prof. Mansur mencoba menggambarkan Kartini yang dipilihnya secara “lebih Islami” dengan giat memendung misi kristenisasi. Hal ini merujuk kepada ucapan Kartini kepada Ny Abendanon.

“Bagaimana pendapatmu tentang Zending? Jika bermaksud baik atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi…bagi orang Islam melepaskan keyakinan sendiri untuk memluk agama lain merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?”(kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903)

Namun mengacu pada surat di tanggal yang sama seperti telah saya kutip sebelumnya, Kartini juga menolak Islamisasi, Budhaisasi, dan pendoktrinan pada satu agama. Dari sinilah kemudian kita menyimpulkan bahwa Kartini memang sangat kuat terinflitrasi Theosofi.

Selain itu, bukti Kartini memperjuangkan nilai-nilai Islam juga diragukan oleh Tiar Anwar Bachtiar. Kandidat Doktor Sejarah dari Universitas Indonesia ini dalam tulisannya “Mengapa Harus Kartini?” pada pada jurnal islamia (insists-republika) edisi 9 april 2009 lalu, mempertanyakan apakah betul Kartini memperjuangkan nilai-nilai Islam sebagai wanita.

Padahal banyak wanita muslim yang lebih riel berbuat ketimbang Kartini yang hanya melakukan surat menyurat lalu diterbitkan. Kartini tidak terlihat berbuat nyata dalam memperjuangkan hak wanita secara faktual mengingat justru ia banyak bergaul dengan bangsawan-bangsawan Belanda dan terlibat diskusi. Bahkan buku Habislah Gelap Terbitlah Terang diterbitkan Belanda enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911.

Ada banyak tokoh-tokoh muslimah Indonesia yang sudah lebih jauh melangkah mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Rohana Kudus, misalnya, jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan). Selain itu juga ada Dewi Sartika (1884-1947). Wanita ini tidak sekedar berwacana tentang pendidikan kaum wanita, namun juga mendirikan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung.

Cut Nyak Dien bahkan, ia tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini. Namun berbeda dengan Kartini yang melihat Belanda sebagai tempat tujuannya. “Aku mau meneruskan pendidikan ke Holland (Belanda), karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah aku pilih” (kepada Ny. Ovinksoer, 1900)

Selain itu, Harsja W. Bahtiar dalam artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” yang teragkum dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4) melakukan gugatan terhadap penokohan Kartini. Harsja W. Bahtiar menilai bahwa selama ini kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia sebenarnya lebih kepada kosntruk orang-orang Belanda.

Akhirnya dengan fakta-fakta ini kita bisa lebih clear melihat bahwa pandangan Kartini tentang agama sangat terpengaruh kuat oleh Theosofi, dan fakta bahwa Kartini memperjuangkan nilai-nilai Islam sebagai seorang wanita masih bisa dipertanyakan. Wallahua’lam.