Beranda » Istilah Salafi yang Berubah Makna

Istilah Salafi yang Berubah Makna



Semula, masyarakat dunia mengenal istilah Salafi (Salafism) sebagai nama untuk satu gerakan reformasi pemikiran keislaman yang digerakkan oleh Jamaluddin Al-Afghani dan kemudian dikembangkan sekaligus diteruskan oleh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M. Masing-masing mereka menyerukan gagasan untuk kembali kepada Islam sebenarnya yang lepas dari segala macam tradisi, penafsiran dan ketertutupan dalam ber-ijtihad.

Meski mengampanyekan kembali-ke-Islam-yang-murni dan bebas dari segala bentuk bid’ah dan sikap taklid, mereka bertiga mengajak kaum muslimin waktu itu untuk menerima kemajuan-kemajuan yang datang dari Barat. Untuk mengangkat kembali Islam ke pusat peradaban dunia, menurut Al-Afghani dan Abduh, rasionalitas gaya Barat adalah sesuatu yang menjadi syarat dan mereka pun yakin bahwa rasionalitas seperti itu ada dalam Islam yang murni. Gerakan reformasi mereka ini dikenal luas sebagai gerakan Salafisme Abduh.

Salafisme Abduh, Salafiyah, dan Wahhabisme

Berbeda dengan asosiasi yang hidup di tengah masyarakat kita beberapa puluh tahun lalu. Menyinggung kata salaf, akan segera terbentuk di benak mereka sebuah lukisan tentang pesantren tradisional yang betul-betul sederhana. Dalam lukisan itu, pesantren yang dimaksud hanya terdiri dari sebuah masjid sebagai pusat kegiatan, rumah seorang kiai-yang menjadi figur utama pesantren, dan bangunan-bangunan ala kadarnya sebagai asrama atau tempat inap santri-santri pesantren.

Dalam kata-kata Gus Dur dulu ketika menulis “Pesantren sebagai Subkultur,” pesantren salaf yang dimaksud adalah

“[S]ebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan: rumah kediaman pengasuh; sebuah surau atau masjid; tempat pengajaran diberikan; dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren.Tidak ada suatu pola tertentu yang diikuti dalam pembinaan fisik sebuah pesantren, sehingga dapatlah dikatakan penambahan bangunan demi bangunan dalam lingkungannya seringkali mengambil bentuk improvisasi sekenanya belaka. Faktor-faktor kesehatan dan kesegaran jasmani, kalaupun ada juga difikirkan, seringkali hanya pada pengertiannya yang esensiil belaka. Pada tahun-tahun belakangan ini memang sering dilakukan usaha untuk menciptakan lingkungan fisik yang lebih baik, tetapi acapkali usaha itu sukar dapat disesuaikan dengan situasi keletakan tempat yang memang semula digarap secara serampangan.”

Sejak istilah Salafisme Abduh dikenal luas pertama kali di negeri-negeri kaum muslimin, tidak terpikirkan sama sekali untuk menyamakan istilah itu dengan Wahhabisme. Meski sebagian masyarakat kita telah mengenal istilah Wahhabisme atau Wahhabi sejak awal abad ke-20 M, Wahhabi tetap diartikan sebagai paham dan gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703—1792 M) yang sangat keras menentang keyakinan atau praktek yang bersifat khurafat dan syirik, seperti ziarah ke tempat-tempat keramat, meminta perantaraan orang-orang yang dianggap wali untuk berhubungan dengan Allah, meminta syafaat kepada ulama, dan seterusnya.

Sejumlah penulis acapkali mengartikan Wahhabi sebagai gerakan penghidupan kembali mazhab Ibnu Taimiyah (1263 – 1328 M) tetapi mengamalkan apa yang telah dikemukakan Ibnu Taimiyah itu dalam bentuk yang lebih keras bila dibandingkan dengan apa yang telah diamalkan oleh Ibnu Taimiyah, bahkan tidak segan-segan menggunakan senjata terhadap orang-orang yang telah dianggap kafir karena menyimpang dari ajaran Islam. Karena itulah, bagi sebagian kalangan masyarakat, Wahhabi akhirnya menjadi istilah lain untuk kelompok Khawarij pada masa kini.

Pergeseran Makna Salafi

Menariknya, istilah Salafi mengalami pergeseran makna di tengah masyarakat luas—terutama di tengah masyarakat kita—sejak dua puluh lima tahun belakangan ini. Sebagian peneliti sosial, bahkan, berani menegaskan bahwa pergeseran makna itu telah dimulai sejak 1960-an, ketika muncul Jamaah Salafiyyah Al-Muhtasibah, sebuah jamaah yang didirikan oleh murid-murid Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz di Madinah, Arab Saudi.

Pendirian tersebut, menurut beberapa peneliti sosial, didorong oleh keprihatinan murid-murid Syaikh Abdul Aziz yang dimaksud terhadap praktek keislaman yang berkembang waktu itu di Arab Saudi. Selain banyak tercampur dengan kesyirikan dan kebidahan, Islam yang mereka lihat telah banyak terpengaruh oleh berbagai pemikiran yang datang dari Barat.

Karena itu, mendakwahkan ulang pemahaman dan praktek keislaman yang murni menjadi titik tekan jamaah tersebut. Dalam NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia, Solahudin, salah seorang researcher di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, menulis,

“Selain berdakwah dan mencegah kemungkaran (hisbah), gerakan baru ini melakukan semacam revisi terhadap praktek-praktek ibadah versi Wahhabi, dengan menyeleksi ulang secara ketat hadis-hadis Nabi yang dijadikan rujukan dalam tata peribadatan. Selain Bin Baz, kelompok baru ini sangat terpengaruh oleh pemikiran Syaikh Nasruddin Al Albani (1914 – 1999), ahli hadis dari Syiria. Albani menganggap bahwa ajaran Wahhabi kurang selektif dalam memilih hadis-hadis yang dijadikan dalil untuk ibadah. Dia melihat masih banyak hadis-hadis tidak sahih dijadikan dalil, di antaranya dalam soal shalat. Ia menulis buku Sifat Salat Al Nabi (Sifat-sifat Shalat Nabi) yang berisi tata cara shalat versi hadis-hadis sahih.”

Dari situlah kemudian Noorhaidi Hasan, dalam Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru (LP3ES, Jakarta, 2008), tegas-tegas menyimpulkan bahwa istilah Salafi yang berkembang belakangan ini tidak lebih dari bentuk Wahhabisme yang dikemas ulang.

Tiga Kelompok Pengaku Salafi

Dalam kenyataan, mereka yang mengaku Salafi sekarang ini, sebagaimana yang dimaksud Noorhaidi itu, dapat kita golongkan menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok memiliki kecenderungan utama yang sangat mencolok dan dapat kita amati bersama.

Pertama, kelompok yang sering disebut sebagai Salafi Jihadi, mereka terkenal karena komitmen mereka untuk menentang pemerintah-pemerintah kaum muslimin yang telah mereka anggap menyimpang dari syariat Islam.

Kedua, kelompok yang sering disebut sebagai Salafi Haraki, mereka terkenal karena sikap toleransi mereka terhadap (a) partai-partai politik dan (b) kelompok-kelompok pergerakan Islam serta organisasi-organisasi filantropis semisal Ihya’ At-Turats dan Ash-Shafwah atau juga Al-Haramain.

Ketiga, kelompok yang sering disebut sebagai Salafi Yamani, mereka terkenal karena sikap keras kepala mereka untuk (a) tidak memberontak terhadap pemerintah kaum muslimin seburuk apa pun perlakuan pemerintah itu terhadap mereka dan (b) tidak bergaul dengan partai-partai politik atau kelompok-kelompok pergerakan Islam atau bahkan organisasi-organisasi filantropis semisal Ihya’ At-Turats, Ash-Shafwah, Al-Haramain dan yang sejenis.
Rimbun Natamarga