Beranda » Ini Kisahku di Tanoh Indatu “Aceh”

Ini Kisahku di Tanoh Indatu “Aceh”





Bila tak mengabadikan sepenggal kisah, tak lengkap rasanya meneguk kopi hari ini dan hari-hari selanjutnya di tanoh Aceh. Sebuah reportase memang wajib hadir, itu pikirku! Kembali jari-jari ini menari, sebuah tari pemecah sunyi kampung Mali. Kisah ini aku mulai ketika meninggalkan negeri penuh debu. Negeri yang jauhnya ribuan mil dari tanoh indatu. Tempat hunian para nabi dan auliya, juga ikut menjadi tempatnya Fir’aun. Negeri itu Mishra ma’rufnya.


Setelah burung besi dinaiki, setelah segupak do’a dipanjatkan, setelah lelahnya tangan melambai, ke Bahrain jua sang burung besi bertengger, mungkin sedikit melepas lelah mencari minum. Tak lupa melaksanakan kewajiban yang maha Agung, menyirami muka dengan air sejuk negeri, menyimpuh diri pada Ilahi Rabbi.


Ada rasa haru membuncah, rasa gembirapun tak segan-segan menyeruak manakala raga menyentuh tanah Malaya. Betapa kusaksi wajah-wajah Asia ramah menyejuk. Deru labi-labi, bau kuah Pliek dan kuah asam kueung seakan-akan membayang-bayangi di pelupuk mata, tak sabarlah aku untuk segera mencium tanoh indatu, Acheh! Namun tunggulah wahai hamba, satu hari lagi burung itu akan bertengger pula disini menjemputmu, membawa ragamu kembali ke tanoh indatu. Menunggulah...


Menanti waktu sehari bak permaisuri menanti calon pangerannya, betapa lama ia. Aku risau, ingin segera ku sentuh lonceng cakra donya, hadiah laksamana Cengho dari Cina. Ingin ku sujud di mesjid raya, Ingin ku pegang sebilah rencong. Ingin ku ziarahi makam tuanku Raja, ingin ku berteduh di rumoh Cut Meutia. Ingin ku petik buah jambu Cut po Fatimah, ingin ku makan boh drien yang menjadi kebanggan generasi di hadapan bangsa Arab. Betapa ingin ku berjuta.


Oh tuhan, lirik mataku ke bawah sana. Subur sekali tanoh ini, seorang petani terlihat di bawah sana, rajin betul mencari rezeki untuk anak dan istri. Sesaat kemudian, sang burung besi bertengger manis di bandara Sultan Iskandar Muda. Bukan main gembiranya hati. Namun tarian itu harus kuubah manakala tanoh indatu telah kupijaki. Tarian yang tak lagi sama karena tanah ini begitu keras dan batat.


Tak tegak-tegaklah syari’at islam, padahal dulu-dulu sekali ini negeri menjadi serambi Mekkah, tempat kaum ulama menyiram ilmunya, tempat kaum sufi meneduh hati, karena negeri ini sungguh rimbun. Namun itu dulu, dulu sekali. Sekarang, tanah ini memang masih subur. Namun tak lagi menyimpan teduhnya, juga rimbunnya. Ibarat gunung cadas di negeri penuh debu itu.



Oh tuhan ampuni kami, dosa apa yang telah kami buat. Sehingga tanoh indatu seperti ini jadinya, mana aneuk-aneuk dara yang mengenakan mukena, mengaji di bale selepas maghrib, mana teungku-teungku yang dengan ihklas hati menyiram ilmunya. Mana teungku-teungku yang apabila berbicara menyejukkan hati, membuat diri menyimpuh Rabbi. Sedikit sekali.


Banyak generasi tanoh indatu yang mengaji di warung kopi, internet, televisi, ploko. Bermalas-malaslah mereka, sungguh. Kapan maju nanggroe ini? Mesti berbenahlah, sebelum bangsa-bangsa lain mengobok-ngobok dan membodohi kita lagi. Dan sejarah kejuhudan ilmu dari ulama dulu perlu kita tulis kembali, agar jadi pengingat dan penyemangat bagi generasi.


Ah... malu kita karena tulis menulis itupun milik barat. Sejarah kitapun mereka tulis. Hanya segelintir generasi tanoh indatu yang menelusuri sejarah mulia Aceh. Ibnu Batutah hanya beberapa bulan menyinggahi Pase, namun bisa menelurkan maha karya yang selamanya menjadi maha karya agung, pengaya sejarah Aceh. Marco Polo demikian juga dengan catatan hariannya The Travel of Marco Polo, yang disalin ulang oleh Prof Adorici.


Zentgraaff dengan semangat luar biasanya menulis perang Aceh dalam maha karyanya. Oh tuhan, hanya sedikit saja maha karya ureung Aceh, dan semua kita mesti malu, malu besar pada mereka penulis barat posmodern semisal Anthoni Reid, sejarawan Aceh yang sampai sekarang masih produktif betul.


Terbangku berlanjut ke tanoh kelahiran, Mali. Tak banyak berubah, kulihat bak pisang yang dua tahun dulu kutanam sudah tumbuh besar rupanya, namun bak pisang sebelahnya tak ada lagi, kambing jua yang membunuh kehidupannya. Itu orang-orang ke Meunasah masih seperti dulu, bisa kuhafal siapa saja mereka yang rajin menginjak kaki di meunasah, bersujud padaNya. Jangan tanya yang lain, kalau aku bilang hanya menambah aib orang saja.


Namun tak apalah, apa artinya aib kalau disejajarkan dengan hukuman tuhan. Sekali lagi kukatakan bahwa meunasah mereka adalah ploko, warung kopi dan televisi. Saban waktu kesitu jua menghabiskan waktu. Satu hal yang berubah di kampungku adalah adanya penambahan ploko satu lagi tepat di depan meunasah. Mungkin untuk menyaingi meunasah. Ah...


Pergiku berlanjut kesana kemari, menyusuri bumi Acheh yang subur, bumi yang menjadi lirikan barat masa lalu. Belandapun dengan mudahnya melabrak traktat London, dan akhirnya tahun 1873 menjadi mula perang Aceh-Belanda. Sungguh Belanda harus mengakui kehebatan indatu masa lalu, ketika ketaatan dan ideologi prang sabil masih bersemi kuat. Tgk Chiek di Tiro termasuk salah seorang ulama yang menghembusnya.


Oh...Bicara aku sudah masuk ke masalah prang sabil. Maklum sajalah, aura prang sabil begitu kentara manakala kumasuki rumoh bersejarah Cut Nyak Dhien. Betapa tempat ini merasuk pikiran ku, membayangkan kumis tebal Kohler, van der Heiden, Snouck Hugronje dan lain sebagainya.


Walau rumoh itu cuma replika namun tak menghilang kesakralannya. Bagiku rumoh itu seakan-akan berbicara selalu pada generasi siapa yang menjenguknya. “tataplah aku, tempat perjuangan Cut Nyak, jadilah kamu pemberani seperti Cut Nyak, kuat agamanya, kuat pendiriannya...” Mungkin begitu kira-kira lantunnya.



Awalnya Cut Nyak memang berumahkan disitu. Belanda yang mengetahui keberadaan Cut Nyak, kemudian membakar rumoh itu setelah lebih dulu Cut Nyak dan pengawalnya menyingkir. Satu-satunya peninggalan otentik yang masih bertahan adalah sumur tua yang digunakan Cut Nyak kala itu. Tempatnya tepat di ujung dapur.


Seorang keturunan Belanda menjadi pemandu untuk berkeliling. Belakangan saya tahu kalau ia adalah ketua yayasan dana peutjut Belanda. Ia fasih menceritakan semua seluk beluk sejarah di rumah ini. Namanya Nix, “I am from Pidie...” kataku memperkenalkan diri. “I from Pidie too, I was born in Geumpang...” balas Nix sambil tersenyum. Aku mengangguk penuh semangat. Kami sempat foto bersama.


Semangatku adalah untuk mewawancarai Nix lebih banyak lagi, karena kemungkinan besar ia termasuk anak dari tentara Belanda masa lalu yang lahir di Geumpang. Ia tahu sejarah Aceh, ia tahu kampungku Lamlo, juga Tangse dan Keumala. Untuk kunjuganku yang kedua, pasti akan ku wawancarainya lagi.


Sepertinya kisah ini harus kucukupkan dulu, beberapa orang yang sedari tadi bercengkrama di warung sudah keluar. Tinggal aku seorang diri menari jari di atas keyboard. Pastinya semangat meneguk kopi kembali bangkit, walau kopi ini tak lagi hangat, namun aromanya masih menusuk tajam. Aroma kopi Samalanga, duh... siapa tak tergoda!

Penulis Azmi Abubakar Adalah Mahasiswa Aceh di Mesir, Mantan Pemred Buletin el-Asyi KMA Mesir. Aktivis World Achehnese Association (WAA),