Beranda » Gila Kuasa; Belajar dari Gaius Julius Caesar

Gila Kuasa; Belajar dari Gaius Julius Caesar



Veni, Vidi, Vici !

Semboyan latin itu tertulis disalah satu kereta kuda dalam parade kemenangan setelah Gaius Julius Caesar pada tahun 47 SM mengekspansi Anatolia (sekarang menjadi wilayah Turki) dan di Zela (sekarang menjadi kota Zile) dengan mengalahkan Raja Farnaces II dari Bosporus (sekarang menjadi wilayah Ukraina Selatan), hanya dengan lima hari setelah ia memasuki wilayah itu. Kecepatan strategi berperang ini yang-konon- mungkin mengilhami serangan Blitzkrieg (Perang Kilat) yang dilancarkan oleh Adolf Hitler, dan Perang Enam Hari Israel (1967).

Dalam dasawarsa terakhir hidupnya, Caesar memenangkan enam peperangan berturut- turut, yaitu pertama di Gallia (58- 52 SM), Perang Saudara (49- 48), di Mesir (48 SM), Anatolia (47 SM), Afrika (46 SM), dan Spanyol (45 SM).

Gaius Julius Caesar memang jenderal perang yang cemerlang, kalau dalam khazanah pemikiran orang Jawa ia telah diberikan anugerah ilahi berupa faktor tiban; yaitu kekuatan dari dalam diri, benar bahwa memang ia dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin dan faktor rekan; proses pencitraan dirinya sebagai pemimpin kharismatik. Ia tidak hanya mengandalkan fisik semata tetapi juga menggunakan akal (intelegensi), baik yang rasional maupun emosional. Dari segi kekuatan fisik, sebenarnya ia tak kalah dengan prajuritnya. Ia ahli pedang dan ahli menunggang kuda, meskipun ia kerap jalan kaki bersama para prajuritnya daripada duduk diatas pelana. Bila menyeberangi sungai ia lebih senang berenang daripada digotong diatas tandu. Kegemarannya sebagai jendral perang adalah menyamar dan menyelinap ke perkampungan musuh untuk memimpin pasukannya langsung on the spot.

Selain itu, Caesar juga politikus andal dan sastrawan yang piawai dalam retorika. Dalam hal kelincahan kata, Caesar sejajar dengan orator- orator ulung sezaman seperti Hortensius (114- 50 SM) dan Cicero (106- 43 SM). Perbedaan mendasar diantaranya jika mereka mengandalkan keindahan kata- kata dan kerumitan dalam berargumentasi, Caesar langsung to the point, langsung tembak ke sasaran dengan segala kesederhanaan kata dan argument. Dua aturan dasariah yang diikutinya dengan konsekuen adalah pilihan kata, prinsip segala macam kelincahan berbicara (eloquentia), dan penggunaan kata- kata yang tak biasa dipakai (insolens) atau yang tak pernah didengar orang (inauditum) harus dihindari.

Lengkap sudah syarat untuk menjadi pemimpin, seandainya ia tokoh dalam serial silat Cina, ia merupakan pendekar yang mahir dalam bun (ilmu sastra) maupun bu (ilmu silat). Sebagai generasi yang lahir di Romawi, Caesar termasuk orang yang langka, tak heran bila sejarawan klasik terkenal, Cornelius Tacitus (56- 120 M) menjulukinya sebagai divinum ingenium, sang genius iIahi

Sebagai seorang jendral yang disegani lawan- lawannya Caesar juga seorang pemotivator ulung yang mampu membangun kepercayaan diri dan memompa adrenalin semangat pasukannya yang sempat gemetar dan ketakutan melihat postur, fisik bangsa Jerman yang tinggi besar pada awal perang Gallia, ia bukan bicara tentang cita-cita luhur akan rasa hormat dan cinta tanah air, melainkan ia cukup pidato dengan sederhana dan singkat, “Orang Swiss sering bertengkar dengan bangsa Jerman dan mengalahkan mereka. Kalian pernah mengalahkan bangsa Swiss, berhadapan denga bangsa Jerman, apakah yang kalian takutkan?”

Dilain tempat pada lain zaman, retorika sejenis masih berlaku pula, dan sebuah keniscayaan pastilah sering kita jumpai dalam kehidupan sehari- hari, misalnya, “ Bangsa kita selama ini mampu keluar dan berhasil mengatasi macam-macam krisis, kini kitapun akan keluar dari kemelut yang menimpa kita!”, atau pada lain kesempatan, “ Kita tidak usah berkecil hati dengan apa yang telah menimpa kita, kesemuanya adalah ujian dari yang di atas, kita hanya mampu berkehendak tapi Tuhan-lah yang merencanakan”.Hanya saja, tak pernah jelas apakah retorika belaka mampu mengembalikan kepercayaan orang banyak akan kekuasaan bilamana kekuasaan itu sudah kelewat bobrok akibat penyelewengan. Hal didasarkan pada potret kelam yang dilukis sendiri oleh Gaius Julius Caesar yang dalam sejarah telah menodai kepercayaan, amanat kepercayaan dari rakyatnya sendiri.

Gaius Julius Caesar (100- 44 SM) sejak muda sudah dibakar nafsu dan hasrat yang luar biasa akan kekuasaan. Dalam perjalanan karir politiknya ia tidak segan- segan menghalalkan segala macam cara, entah lewat sogok, mengupah orang untuk memberikan kesaksian palsu dan bahkan meracun orang upahan itu bila kedoknya terbongkar, mengusahakan perkawinan politik, merekayasa intrik- intrik dan kudeta.

Suetonius (69- 122 SM) dalam karyanya De vita Caesar-um (Kisah Hidup para Kaisar), bahwa “terbiasa berkuasa membuat Caesar gila kuasa”. Dalam catatan sejarah Caesar, semenjak muda ia telah diangkat menjadi imam Dewa tertinggi Romawi, Yupiter. Pada usia 19 tahun ia sudah bertugas sebagai ajudan Markus Thermus, Gubernur Jendral Provinsi Asia. Pada tahun 67 Caesar dipilih sebagai quaestor (wakil gubernur), jenjang karir pertamanya dalam dunia politik, selanjutnya pada tahun 65 SM ketika ia menjabat sebagai aedilis (pejabat penertiban dan kesejahteraan umum) ia berusaha keras menyenangkan publik maupun para pemimpin militer dengan program- programnya. Menginjak tahun 62 SM Caesar dipilih sebagai praetor (pejabat yang menjalankan pengadilan) dan pada tahun 61- 62 SM ia berhasil menjadi Gubernur Jendral di Spanyol Barat. Pada tahun 60 SM, Caesar bersama Gnaeus Pompeius Magnus (106- 48 SM) dan Markus Crassus (115- 53 SM) ketiganya membentuk Triumvirat Pertama, sebagai usaha untuk menyaingi kekuasaan Senat demi melindungi kepentingan bisnis diantara mereka. Selama tahun 58-50 SM sebagai Gubernur Jendral Gallia Caesar disibukkan dengan memerangi dan menaklukkan bangsa-bangsa lain disebelah utara Italia serta ekspansi wilayah kekuasaan Romawi ke utara.

Pada tahun 46 SM Caesar dikukuhkan untuk masa jabatan sepuluh tahun sebagai diktator, ia menjadi penguasa tunggal dalam republik Romawi dengan kekuasaan tanpa batas. Pengaruh Caesar semakin terasa disegala bidang kehidupan orang- orang Romawi, ia menetapkan undang- undang anti kemewahan dan mengirim pengawas ke segala penjuru negeri. Tapi ia sendiri terkenal senang dengan hidup bermewah- mewah. Ia menerapkan hukum dengan keras terhadap para pelanggar hukum dan tata moral. Ia sendiri terkenal berselingkuh dengan istri banyak orang, termasuk istri jendral- jendral sekutunya dalam Triumvirat, istri Crassus dan salah satu istri Pompeius. Ratu Kleopatra juga tidak luput dari jerat pikat, tebar pesona Caesar, Suetonius menulis bahwa pernah seorang orator menyebut Caesar sebagai “ Suami setiap perempuan dan istri setiap lelaki” untuk menyebut kecenderungan seksual Caesar.

Pada akhirnya eksekusi atas diri Caesar-pun harus dilakukan, setelah sebelumnya musuh- musuhnya melakukan persekongkolan untuk membunuh Caesar yang telah dianggap meremehkan Senat, meremehkan Republik. Dan yang menjadi sumber kegusaran politik pada saat itu adalah kecemasan lawan- lawan politik Caesar jika ia berambisi menghidupkan sistem monarki dan menghapuskan oligarki. Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 15 Maret 44 SM, Gaius Julius Caesar berhasil dibunuh oleh para lawan politiknya, salah satunya Brutus yang sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh Caesar. Brutus memberikan pembelaan atas apa yang telah ia lakukan terhadap diri Caesar dengan alasan benar bahwa ia sangat menyayangi Caesar, akan tetapi ia lebih sayang akan Republik dan membenci tirani.

Shakespeare dalam Julius Caesar melukiskan apologi Brutus dimuka rakyat Roma sebagai berikut; “ Jika ditengah- tengah kalian, ada sahabat Caesar, padanya aku berkata bahwa cintaku pada Caesar tak kurang daripada cintanya. Dan kalau sahabat itu membalas, mengapa Brutus menentang Caesar, inilah jawabku- bukan karena tak cinta pada Caesar tapi karena cinta pada Roma. Apakah kalian lebih suka Caesar hidup, sedangkan kalian semua mati sebagai budak, ataukah Caesar mati hingga kalian semua dapat hidup merdeka? karena Caesar sayang padaku aku menangis untuknya; karena dia beruntung, aku gembira; karena dia berani, ia kuhormati. Tapi karena dia gila kekuasaan, dia kubunuh. Ada air mata untuk cintanya, kegembiraan untuk keberuntungannya, penghormatan untuk keberaniannya, dan kematian untuk kegilaan-nya akan kekuasaan.

Siapakah yang hadir disini yang begitu hina hingga ingin jadi orang terbelenggu?… Siapakah yang hadir disini yang begitu busuk hingga tak mencintai tanah airnya?.... Itulah Brutus, sosok yang menyakini bahwa tirani, ketidakadilan, hegemoni-absolut harus dihapuskan walaupun pada kenyataannya sangat menyakitkan baginya karena harus mengorbankan orang yang ia kasihi dan ia sayangi.

Sosok Brutus diatas adalah contoh pribadi ideal yang tanggap akan ketimpangan, ketidakadilan yang menimpa masyarakatnya. Sosok ini digambarkan oleh Ernest Gellner, sebagai aktor sosial yang bebas sebagai manusia moduler; yaitu sosok individual yang tidak hanya menerapkan sifat indenpenden dan otonominya terhadap kekuasaan Negara dan kritis dengan problematika yang menimpa masyarakatnya. Bukan sosok- sosok yang digambarkan Bertrand Rusell sebagai “orang-orang sakit” ; yaitu orang- orang yang selalu dikuasai hasrat kekuasaan, hasrat ingin menjadi seorang pemimpin agar senantiasa bisa memberikan dalih pembenaran atas tindakannya menjajah dan mengambil keuntungan dari masyarakat yang sakit. Dalam analisa Bertrand Rusell Orang- orang sakit ini kecenderungannya didominasi oleh orang- orang pemerintah yang senantiasa ingin melestarikan keadaan status quo, berjuang mati-matian demi kelestarian diri dan habitatnya sendiri. Mereka ini adalah sosok-sosok hedonis-apatis-akut, yang –hanya mampu- berjuang demi kepentingannya sendiri tanpa mau peduli dengan yang lain.

Jika melihat rangkaian isyarat yang diberikan Tuhan kepada kita maka sudah saatnya bagi kita untuk sadar diri, kembali kepada hakikat sebenarnya diri kita, merenungi apa yang telah kita lakukan selama ini, apa yang telah kita lakukan. Kita patut mempertanyakan pada diri kita sendiri, siapakah sebenarnya diri kita yang sebenarnya?

Gordon W. Allport memberikan petunjuk tentang ciri orang beragama, yang pertama disebutnya sebagai orang yang beragama secara ekstrinsik saja, agama hanya sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling pada dirinya sendiri. Agama hanya digunakan untuk menunjang motif- motif lain; kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Dalam analisa Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam Alternatif, Ceramah-ceramah di Kampus menyebutkan bahwa cara beragama seperti diatas tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang, sebaliknya kebencian, irihati, dendam dan fitnah akan senantiasa terjadi. Berbeda apabila kita masuk pada beragama secara intrinsik; yaitu menjadikan agama yang kita peluk sebagai comprehensive commitment dan driving integrating motive, yang mengatur seluruh hidup kita. Agama yang kita yakini dan kita aplikasikan sebagai unifying factor (faktor pemandu) yang menghunjamkan nilai-nilai ajaran agama kedalam diri kita serta memandu setiap gerakan aktifitas kita agar senantiasa memperoleh kasih, karunia, dan keselamatannNya.

Belajar dari Caesar, maka bukan hal yang tidak mungkin apabila sekarang ini banyak menjumpai sosok caesar- caesar yang lebih gila dan selalu haus kekuasaan, mereka bisa jadi bertransformasi dalam wujud, sosok yang berbeda- beda. Mereka bisa menjelma menjadi seorang pemimpin yang hanya mempedulikan dirinya sendiri tanpa mau melihat keadaan bawahan, anggota, dan rakyatnya yang sedang sakit. Mereka lebih menikmati atas kesedihan yang kita alami, mereka lebih peduli kepada prospek pertambahan nilai profit wilayahnya daripada menemani rakyatnya yang sakit, mereka lebih senang cuti- cuti (jalan-jalan), kongkow- kongkow di wilayah area lumpur Lapindo dan Tsunami mentawai, daripada membantu merehabilitasi dan merekonstruksi jiwa rekan- kita yang hancur dan luluh akibat bencana, mereka tidur –tentunya- lebih nyaman daripada rekan-rekan pengungsi di Jogja yang tidur dengan alas seadanya.

Mereka bisa jadi aparat yang hanya peduli dengan bahasa kekerasan, mereka bisa jadi guru- guru kita yang hanya faham dengan bahasa doktrinal yang memasung kreatifitas dan anti kritik, mereka bisa jadi rekan-rekan kita yang berlomba dalam kompetisi status priyayi dengan menghalalkan segala cara.

Mereka yang tersebut diatas tentu tidak akan setulus hati menyapa dan mempedulikan diri kita, membantu kita, memegang dan memandu bahu kita untuk bangkit dari keputus-asaan, bangkita dari keterpurukan, mendorong potensi yang ada pada diri untuk mencapai kesempurnaan, karena apa yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana menciptakan diri mereka agar senantiasa eksis dan menciptakan status quo atas kekuasaan yang telah mereka miliki.

Moh. Toriqul Chaer