Beranda » Geger Nasional karena Pentas Lokal (Pidato Soekarno di Kota Kecil

Geger Nasional karena Pentas Lokal (Pidato Soekarno di Kota Kecil



131895035618618602

Sebagai peminat sejarah, saya tertarik dengan isu khilafat yang sempat gencar dikampanyekan oleh kelompok tertentu sebagai sistem alternatif yang di mata mereka lebih baik daripada ‘sistem sekuler’ yang berlaku di negara ini. Buat saya fenomena ini berada dalam kerangka konflik ideologis yang mewarnai perjalanan bangsa ini sejak kelahirannya, di mana Islam sebagai ideologi dihadapkan dengan negara.


Diskursus tentang hubungan Islam dan negara menurut Arief Afandi, memang merupakan tema yang tak pernah usai dibahas (*1). Pertanyaannya, sejak kapan dan di mana sebetulnya isu ini mulai mengemuka sebagai wacana publik di negeri ini? Menakjubkan! Hasil penelusuran saya tertumbuk pada satu nama: Amuntai!



Dialog Lewat Poster

Semuanya bermula dari Pidato Bung Karno yang ia sampaikan di Amuntai dalam rangkaian kunjungannya ke Kalimantan pada Januari 1953. Soal ini selain diungkap oleh Tim Peneliti Sejarah Banjar, selanjutnya disingkat Tim Peneliti (*2), juga dikuatkan oleh Tim Penyusun Buku Berdirinya Kabupaten HSU, selanjutnya disingkat Tim Penyusun(*3). Sementara itu Majalah Tempo Edisi 18-24 Agustus 2003, selanjutnya disingkat Tempo (*4) juga menginformasikan hal serupa pada Liputan Khususnya tentang Aceh.

Selama kunjungan Presiden RI pertama itu, yang merupakan masalah pokok di antaranya adalah tentang kedudukan Islam dalam masyarakat, dan apakah Indonesia menjadi negara Islam atau tidak (*5). Isu ini mengemuka pada sebuah rapat raksasa di tanah lapang Amuntai yang dihadiri ribuan khalayak, di mana Soekarno dihadapkan pada banyak poster dan salah satunya bertuliskan: “Minta Penjelasan: Negara Nasional atau Negara Islam?”(*6)

Ini rupanya menarik perhatian presiden. Maka seperti yang diungkapkan Tempo (*7), Soekarno pun berpidato di Amuntai Kalimantan Selatan pada 27 Januari 1953. Di sana ia menolak Islam sebagai dasar negara. “Yang kita inginkan adalah negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia,” ujarnya. “Jika kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri.” Saat itu, demikian Tempo, memang ada program politik nasional merebut Irian Barat. Negara Islam menurut Soekarno akan membuat Irian Barat tak mau jadi bagian dari Republik.

Patut dicatat, saat itu pemerintahan RI masih menganut sistem parlementer dan konstitusi yang berlaku pun bersifat semantara/UUDS ’50. Jadi yang berwenang menentukan ideologi negara seharusnya bagian dari Parlemen (kelak disebut Konstituante, hasil Pemilu 1955), bukan presiden. Maka tidak aneh apabila kemudian, seperti yang disebut Tim Penyusun, sebuah koran Belanda Niews Rotterdamsch Courant/NRC menulis: “Presiden Soekarno terlalu prematur telah membakar-bakar semangat juang rakyat Amuntai ke arah Negara Nasional di luar kompetensinya sebagai seorang presiden. Kalau bicara di Amuntai seharusnya Soekarno agak berhati-hati.”

Terlepas apapun motif dibaliknya, namun sebagai pers dari bangsa yang pernah lama mengkoloni Indonesia, agaknya NRC relatif faham akan religiusitas masyarakat Kalsel. Dalam konteks ini dapat dipahami maksud mereka, bahwa seharusnya Soekarno agak berhati-hati untuk mengkampanyekan ‘ide-ide sekuler’ di Amuntai yang menjadi bagian dari daerah religius tersebut.


Namun faktanya, reaksi keras kelompok-kelompok Islam justru muncul di luar Amuntai. Mula-mula Masyumi Kalsel yang di antaranya menyatakan pidato itu sebagai propaganda berat sebelah. Isi pidato tersebut menurut Tim Penyusun segera tersiar luas oleh Kantor Berita Antara ke seluruh Tanah Air dan Internasional. Selanjutnya timbullah reaksi dari Jawa Barat, Sulawesi, Aceh dan lain-lain tempat. Di Jakarta, massa Masyumi berdemonstrasi di Lapangan Banteng. Sikap yang sama juga diambil oleh NU dan GPII. Tak ketinggalan, Ketua HMI menyurati Soekarno untuk minta penjelasan. Sehubungan dengan itu, dalam ceramahnya di UI Soekarno memulai penjelasan dengan kata-kata: “Ketika aku berdiri di Amuntai….” Lalu dijelaskannya, bahwa ia memilih Negara Nasional sebagai jawaban atas pertanyaan rakyat di sana, semata-mata demi mempertahankan konstitusi. Namun demikian menurutnya: “sesaatpun tak ada terkandung maksud untuk melarang kaum muslim mempropagandakan cita-cita Islam ”(*8).

Apapun halnya, yang pasti Pidato Soekarno di Amuntai itu terlanjur memanaskan suhu politik di tanah air. Masih terkait masalah ini, Soekarno kemudian terlibat dalam serangkaian debat serius dengan Muhamad Natsir, tokoh Masyumi.

Sementara itu daerah Aceh tengah bergolak menyusul dicabutnya status Provinsi Aceh pada 23 Januari 1951 Pemerintah Pusat untuk kemudian dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Padahal–masih dikutip dari Tempo–pada Juli 1948 Bung Karno sempat bersumpah di hadapan Teungku Daud Beureueh (Pemimpin Aceh masa itu): “Wallah, Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberikan hak menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam.” Kegelisahan rakyat Aceh kian tajam ketika Soekarno berpidato di Amuntai. Sebab itulah, jika di tempat lain reaksi terhadap Pidato Soekarno paling keras hanya ditempuh melalui jalan aksi demonstrasi, maka Aceh lebih memilih jalan lain: Pemberontakan Darul Islam di bawah pimpinan Daud Beureueh!(*9)

Sebelum tentara dikirim untuk menumpas pemberontakan tersebut, Soekarno sendiri menurut Tempo, sebetulnya telah lebih dahulu mendatangi Aceh untuk mendinginkan suasana. Namun seperti yang dicatat Herbert Feit dalam artikelnya di Jurnal Pacific Affairs pada 1963 (*10) betapa Soekarno tak berdaya disambut poster-poster anti presiden yang salah satunya berbunyi: “Kami Cinta Presiden Tapi Lebih Cinta Agama.”

Seolah-olah itu adalah penolakan rakyat Aceh terhadap jawaban Soekarno atas pertanyaan rakyat Amuntai: “Negara Nasional Atau Negara Islam?”. Uniknya aspirasi rakyat dari dua daerah berjauhan ini didialogkan dengan cara yang sama: Melalui Poster.



Pojok Terpencil

Perdebatan soal ideologi negara dalam sejarah Indonesia sebetulnya tidak hanya terjadi tahun limapuluhan. Sewaktu Kemerdekaan RI dipersiapkan pada 1945, soal yang sama bahkan telah membelah tokoh-tokoh pendiri bangsa ke dalam dua kubu, yaitu antara kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Perdebatan antar mereka pun, sejauh yang kita pelajari, cukup sengit. Hanya saja, semuanya berlangsung di ruang tertutup melalui serangkaian Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sebaliknya, seperti yang telah terurai di atas, perdebatan ideologis pada era limapuluhan itu telah merambah ke ruang publik dalam skala yang begitu luas dan diwarnai pula dengan aksi-aksi massa. Salah satu eksesnya bahkan turut memicu gerakan separatis seperti yang terjadi di Aceh.


Agak susah dipercaya, segala prahara politik ini ternyata bermula dari Pidato Presiden Soekarno yang di sampaikan di Amuntai, sebuah tempat yang oleh Tim Peneliti Sejarah Banjar sendiri diistilahkan sebagai sebuah ‘pojok terpencil di Indonesia’. Namun apapun halnya, pojok terpencil itu pernah dijadikan Bung Karno sebagai ‘pentas lokal’ yang menggegerkan jagad politik nasional.



* Tulisan ini telah publish di Harian Mata Banua Banjarmasin, Edisi Senin, 25 September 2007. Judul Asli: Geger Nasional Karena Pentas Lokal: Catatan Kecil Sejarah Lokal

1 Arief Afandi. 1995. ISLAM Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal v

2 Tim Peneliti. 2003. Sejarah Banjar. Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarmasin. Hal 527-528

3 Tim Penyusun. 2003. Lintas Sejarah Perjuangan Kemerdekaan dan Berdirinya Kabupaten Hulu Sungai Utara. Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara. Amuntai. Hal 72-73

4Tempo Edisi18-24 Agustus 2003. Patahnya Setangkai Payung. PT Tempo Inti Media. Jakarta. Hal 49

5Tim Peneliti. Op.Cit. Hal 527

6 Tim Penyusun. Op.Cit. Hal 72-73


7 Tempo. Op.Cit. Hal 49

8Tim Peneliti. Op.Cit. Hal 528

9Tempo. Op.Cit. Hal 49

10Herbert Feit di dalam Beureueh, Pemberontakan dengan Sebab Klasik. Tempo. Op.Cit. Hal 29-30