Beranda » Galle Port, Warisan Sejarah Dunia

Galle Port, Warisan Sejarah Dunia



1318350983454119805

Salah Satu Sudut Galle Port yang menyambut kedatangan pengunjung




Galle Port, sebuah pelabuhan tua di southern province Srilanka. Posisinya yang strategis antara Laut Arab, Laut Laccadive dan Teluk Bengal serta Laut Andaman menempatkan pelabuhan ini sebagai salah satu pelabuhan yang telah dikenal oleh dunia sejak abad 14. Bahkan salah satu penulis Muslim Ibnu Batuta telah mengenali pelabuhan ini sebagai Qali.


Pengelana asal Irlandia yang juga merupakan seorang politisi, Sir. James E Tennent menyebut Galle Port sebagai pelabuhan laut yang memegang peranan penting dalam tata perdagangan dunia di abad 16-18. Kita di Indonesia mungkin tak terlalu banyak mengenal salah satu warisan sejarah dunia yang dinobatkan sebagai salah satu World Heritage oleh Unesco. Tsunami dahsyat yang mengahantam Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga dirasakan dampaknya sampai ke Galle.


Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan mengunjungi pelabuhan tua yang berada di Galle District ini. Sungguh sebuah keberuntungan bisa mengunjungi salah satu warisan dunia, sembari melihat dari dekat sejarah awal perdagangan antar benua.


Sebelum tengah hari kami bergerak ke Selatan Kolombo, perjalanan sekitar 120 KM tentu saja bukan perjalanan singkat, apalagi situasi jalan raya di Srilanka yang relative baru terbebas dari perang saudara ini belumlah betul-betul mulus, ditambah perilaku berkendara yang tak pula bisa dibalik baik. Kendaraan-kendaraan umum disana yang biasanya berupa bus-bus tua yang terkadang sisi pintu sebelah sopir tak berpintu makin memperlama perjalanan, biasanya dijalan menuju southern province bus-bus tersebut berjalan palan dan menguasai hamper smeua sisi jalan sehingga kita mau tidak mau harus bersabar di belakang kendaraan-kendaraan tua itu.


13183515871975900067

Kepala bus/truk di Srilanka yang tak berpintu


Di pusat kota Kolombo memang jalanan relative sangat baik, lebar dan mulus terutama di sekitar distrik 5 dan 6. Namun semakin keluar kota semakin sempit dan cenderung tak beraturan, kami bergerak melalui southern line, jalanan yang akan membawa kita ke sisi Selatan Srilanka, jalur ini akan berakhir ke Matara. Lambatnya laju kendaraan yang membawa saya memang membuat suasana bosan, ingin rasanya segera melihat Galle Port yang mahsyur pada masanya itu. Sesuatu yang tua itu biasanya unik dan selalu berbeda itu yang ada di benakku.


Oh iya, jika suatu saat anda ingin berkunjung anda bisa menunggunakan jasa taksi yang menurut informasi yang saya terima dari seorang pengemudi lokal sekitar 3000 rupees. Jika tidka anda bisa menggunakan angkutan umum yang jelas harganya jauh lebih dari murah, hanya saja saya tidak punya informasi mengenia berapa biayanya, yang jelas nampaknya jika menggunakan angkutan umum anda perlu berganti angkutan 2 kali dari Kolombo.


Baruntung kebosanan akan lambannya perjalanan tergantikan oleh pemandangan-pemandangan menarik bagaimana kehidupan masyarakat Srilanka yang terbilang sangat bersahaja dan genuine bisa jadi pengaruh budaya Hindu dan juga Muslim yang menghadirkan kesederhanaan tersebut, disamping tentu saja factor perang saudara yang berlangsung sangat lama antara pemerintah berkuasa dan pemberontak Tamil yang melegenda itu.


Di beberapa titik southern line yang kami lalui berhimpitan langsung dengan tepi laut, sehingga kami bisa menyaksikan keindahan bernama seni memancing a la Srinlanka yang sangat unik tersebut. Mengapa unik ? karena mereka memancing di pinggir laut dengan berdiri di penyangga yang hanya sebuah kayu. Kalau anda melihat ini, mungkin anda akan bersepakat menyebut seni memancing Srilanka ini sebagai salah satu “keajaiban” dunia. Sungguh baru kali ini melihat memancing sesulit itu kelihatannya, tentu tidak bagi nelayan Srilanka yang sudah terbiasa. (Dalam waktu dekat saya akan menuliskan juga kisah tentang mincing a la Srilanka)


1318351891794082051

Mancing a la Srilanka ini akan ditemui di beberapa titik menuju Galle


Akhirnya setelah melalui perjalanan yang hamper empat jam kami tiba di Galle Port. Sebenarnya kalau kita hitung jarang yang sekitar 120KM tersebut jika ditempuh dengan kecepatan 60KM per jam saja, tentu dua jam sudah akan tiba. Tapi buruknya perilaku berkendara ditambah infrastruktur yang tak bisa dibilang baik membuat perjalanan menjadi membutuhkan waktu yang lebih panjang dari semestinya. Nah, ini pengalaman juga. Jika anda bertanya dengan warga di Kolombo tentang berapa waktu yang dibutuhkab untuk sapai ke Galle mereka biasnaya akan menjawab satu setengah jam atau dua jam. So, jangan telan ini mentah-mentah…Saran saya siapkan baterai kamera anda, buku untuk bahan bacaan atau baterai gadget musik anda agar tak dilumuti rasa bosan.


Galle Port saya langsung merasakan suasana yang berbeda, berasa menatapi Abad delapanbelasan, seperti yang sering kita jumpai di gambar-gambar buku sejarah. Dinding tebal bersosok keras dan kelam memagari kawasan, waktu telah menguji tangguhnya dinding itu. Sesaat setelah memasuki kawasan pelabuhan, saya melihat banyak terdapat Papan reklame yang mengkampanyekan situs ini sebagai warisan sejarah dunia.

13183532061929023061

Galle Port dari kejauhan


Galle Port kini telah menjadi kawasan wisata yang cukup ramai di Srilanka, semakin ke ujung kawasan saya melihat semakin banyak keramaian. Suasana romantis juga nampak di tembok-tembok pelabuhan yang mengarah langsung ke lautan lepas, muda-mudi berdua-duaan deengan indahnya memandangi lautan yang seolah tak berujung itu.
13183527591187381739

Muda-mudi memanfaatkan tembok Galle Port :)



1318352242523726742

Salah satu sudut Galle POrt yang mulai termakan usia



1318352379452795987

Tempat perlindungan tentara kolonial di salah sudut Galle Port


Sayapun hanyut berdiri di tepi pelabuhan sembari mengarahkan pandangan ke lautan yang membiru itu. Andai pandanganku tak berbatas mungkin aku sudah bisa melihat Pulau We (Sabang) di ujung jauh laut ini. Nelayan Srilanka memang terkenal kerap menjelajah sampai ke perbatasan Indonesia, tak jarang mereka ditangkap karena melintas batas. Seorang teman yang bekerja di Lembaga PBB disini juga menyebut bahwa tak jarnag juga nelayan Aceh ditangkap di lautan Srilanka. Pikiranku bermain-main pada masa lalu, mungkinkah Kerajaan Aceh dan Ceylon (Sebutan untuk Kolombo) sudah lama bekerjasama dan saling memberi pengaruh dalam kultur satu dan lainnya. Kalau anda pernah ke Aceh dan Srilanka, terasa betul ada “sesuatu” yang sama antara keduanya.


Di beberapa sisi kawasan, nampak anak-anak yang tengah bermain kriket di tanah lapang. Sebuah cabang olahraga yang sangat dibanggakan disini, kriket telah membuat Srilanka mendunia. Prestasi tim nasional mereka memang salah satu yang terbaik di dunia.

Saya mencoba berjalan ke sisi lain kawasan, saya tertarik dengan menara-menara jam yang ada di sekitar Galle Port, nampak jarum jam masih berjalan dengan baik yang menandakan bahwa jam di menara jam ini dirawat dengan baik pula. Menara jam yang ada disini seolah membawa kita ke Eropa dimana menara-menara jam memang menjadi identitas. Disinilah terasa sentuhan Bangsa Eropa yang membangun pelabuhan ini.

Tak jauh dari tempat saya berdiri memandangi menara jam, saya melihat sekolompok warga yang tengah berkumpul, nampaknya mereka bukan wisatawan terlihat dari busana yang dikenakan. Kuberanikan diri untuk mencoba berbincang. Satu yang menarik dari warga Srilanka, penguasaan bahasa Inggris mereka bisa dikatakan sangat baik, tak peduli mereka ada di desa atau di kota ataupun muda maupun tua, kebanyakan mereka bisa berbahasa Inggris. Saya bercakap-cakap singkat memperkenalkan diri dan menyatakan ketakjuban saya pada pelabuhan tersebut. Lalu mereka juga mengatakan bahwa pelabuhan tua ini telah memberi kemudahan bagi emreka untuk mencari nafkah, karena mereka bisa menjadi pemandu, berdagang cinderamata atau makanan ringan bagi para wisatawan.


Apa yang mereka sampaikan di atas sama sekali tak membuat saya terkejut, karena memang begitulah biasanya kawasan wisata dimanapun. Saya terkaget ketika salah satu dari mereka, menanyakan apa saya dari Jawa. Meski saya bukan asli Jawa namun karena saya bermukim di Pulau Jawa saya sambut saja pertanyaan itu dengan cepat “iya..” lalu warga itu berkisah bahwa dia sedikit-sedikit bisa bahasa Jawa. Wooow, nan jauh di ujung Srilanka ini ternyata terjamah juga oleh kultur Jawa. Lalu setelah mendengar beberapa kata yang dia sebutkan dalam bahasa Jawa, meksi terasa aneh tapi kosakatanya benar. Saya mulai bergairah mencari tahu bagaimana bisa ia bisa berbahasa Jawa.


Selidik punya selidik ternyata ia masih ada keturunan Jawa dari Bapaknya, menurut ceritanya Kakeknya dulu adalah pengembara dari Jawa yang bekerja di perkebunan teh di seputaran Srilanka. Oh, ternyata kisah kolonialisme yang “memaksa” banyak manusia hengkang dari tanah lahirnya demi dipekerjakan juga kutemui di Negara Pulau ini. Menurut warga lain yang kebetulan tidak ada hubungan dengan Jawa, ia menyebut ketekunan pekerja dari Jawa di kebun-kebun teh dulu sangat disukai oleh mandor-mandor the yang kebanyakan adalah oang Eropa, terutama Inggris.


1318352645369238030

Salah satu sudut Galle Port


Setelah berbincang cukup lama saya berlalu dari kumpulan warga tersebut dengan membawa beragam Tanya dalam pikiran. Bagaimana nasib keturunan-keturunan Jawa sekarang, bagaimana pula kisah pergerakan manusia lintas Negara di masa lalu, apa mereka diangkut secara layak ? atau dikepalkan layaknya peti kemas saja ? banyak pertanyaan yang tak terjawab. Lalu saya mencoba menguhubungi rekan saya yang tinggal di Kolombo menanyakan prihal itu (saat itu juga), saya mendapat jawaban bahwa di Kolombo ada perkampungan Jawa. Ingin rasanya mengunjungi perkampungan ini pikirku…

13183529751938393747

Menara jam yang sangat khas Eropa



Waktu kian senja, akupun bergerak menaiki sisi tinggi dari pelabuhan tua ini, kupandangi sekali lagi lautan luas. Lalu, kuregangkan pandang kea rah dalam kawasan Galle kuamati pelan gerak kehidupan di dalamnya, sepeda motor, mobil bergerak di jalanan kecil, Waktu telah bergerak dari era keemasan pelabuhan laut ini, ratusan tahun silam kubayangkan pelabuhan ini dalam keramaiannya kini semua telah berganti, tak ada lagi kapal-kapal besar yang bersandar, taka ada lagi tangan-tangan kekar tentara kolonial yang menghujamkan senajata ke arah pekerja paksa. Tapi waktu sama sekali tak mampu menghapus nuansa, pesona dan citra pelabuhan laut ini.


etekunan masyarakat dan pemerintah Srilanka dibantu lembaga-lembaga internasional dalam menjaga salah satu warisan sejarah dunia ini agar tetap bisa dinikmati kita dan generasi berikut patut diacungi jempol. Meski lama ditelan perang saudara mereka tak menyerah merawatnya. Beruntung sempat menjadi penikmat langsung warisan sejarah dunia ini. SALAM BERBAGI !!
Huzer Apriansyah