Beranda » Aceh di Mata Urang Sunda

Aceh di Mata Urang Sunda



Oleh Edi Miswar Mustafa

  • Judul : Aceh di Mata Urang Sunda

  • Penulis : Arif Ramdan

  • Penerbit: Bandar Publishing

  • Tebal : 215 halaman


  • SUNDA memang bukan Jawa, meski berada dan mendiami pulau yang sama. Orang Sunda rata-rata tidak atau kurang berkenan disebut orang Jawa. Profesor Utju Ali Basyah, tokoh Sunda di Aceh selalu menegaskan bahwa Sunda itu bukan Jawa. Sebab di mata orang Aceh, Jawa itu penjajah! Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah semua orang Aceh berpendapat demikian?


    Sebulan, setelah tenda darurat 800-an pengungsi musibah tsunami berdiri, tiba-tiba seorang nenek, dua orang cucu, dan seorang perempuan yang diaku sebagai menantu si nenek datang ke titik pengungsian di Mesjid Kopelma Darussalam, Banda Aceh. Mereka mengaku korban tsunami. Tapi, empat tahun usai ‘air raya kh’op’ itu mereka masih tinggal di pengungsian di bantaran krueng Aceh. Mereka menanti janji bantuan rumah di kawasan Ladong, Aceh Besar.

    Potret kehidupan orang Aceh yang ditulis secara antropologis oleh Arif dalam buku ini adalah salah satunya dari sekian yang lain yang terbaca oleh saya. Bukan hanya karena Nek Salbiyah sekampung dengan saya. Sesuatu yang berseberang dalam satu ihwal dan membuhul menjadi satu dan sering terkata sebagai ironisma itulah yang mengundang decak yang diam. Sama halnya ketika dalam tulisan lainnya penulis memburaikan kepiluan seorang anak negeri kepada dua bapak bangsa yang dikhianati dan berusaha dilupakan Indonesia; Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo dan Teungku Daud Beure’eh.


    Dalam paparan hidup kedua tokoh inilah kita seakan dapat melihat siapa penulis yang sebenarnya. Menurut saya antara judul dan tulisan-tulisannya agaknya miring dan kurang cocok jika dijudulkan demikian yakni Aceh di Mata Urang Sunda. Lagipula beberapa tulisan hanya berupa reportase sejarah dari kepustakaan yang umumnya sudah diketahui sehingga Ahmad Humam Hamid sendiri mengatakan, “ditambah dengan referensi sejarah yang lumayan”. Memang, seperti pengakuan penulis dalam buku ini, yang telah `tidur’ dan `meniduri’ Aceh, tetapi, jika kita ditanya orang apakah ia telah menjadi orang Aceh yang sepenuhnya memahami Aceh?


    Pertanyaan ini ternyata menyiratkan dokumen lain yang harus kita kembalikan ke tengah-tengah kita, pada persoalan atas dasar apa seseorang menulis. Seumpama benar apa yang dikatakan Denys Lombard dalam bukunya -Kerajaan Aceh- bahwa landasan wahid C. Snouck Hurgronje menulis buku-bukunya tentang Aceh semata demi kepentingan politik kolonialisma. Atau, keabsahan sejarah secara sinkronik -sejarah yang melebar dan melingkar pada satu titik- dalam bentuk sastra yang ditulis orang-orang luar Aceh paskatsunami dengan kedangkalan etnografi Aceh sehingga (Kompas, 26 April 2009) akhirnya `Aceh jauh sekali’ dari kebenaran yang umum diketahui masyarakatnya.


    Tentu saja Arif Ramdan berbeda dengan orientalis Belanda yang saya sebutkan di atas ataupun dengan Sunardian Wirodono. Arif seorang yang terbiasa dalam memotret kehidupan dengan akar kebiasaan objektif demi kepentingan pembaca. Tetapi Arif tidak bisa berbohong ketika dia melindapkan kekagumannya pada Kartosuwiryo. Dan, kekaguman ini tidak saya tangkap dalam nukilan sejarah yang takkan terlupa di tanah ini tentang ‘kekurang-ajaran’ Soekarno saat mengkhianati Teungku Daud Beureu’eh.



    Nah, chauvinisma model begini saya kira wajar-wajar saja manakala membayangkan seandainya orang Aceh yang tinggal di Pasundan dan menikah dengan Neng Geulis di sana, menerbitkan buku yang judulnya Sunda di Mata Ureueng Aceh. Pengucapan yang tawar dan terasa berbumbu dalam tulisan mengenai keagungan dua bapak bangsa yang terlupakan tersebut dapat dipastikan bersua oleh pembaca.


    Kembali lagi ke Nek Salbiyah yang sekampung dengan saya. Di sini, Arif tidak datang dan menghakimi dalam tulisannya. Bila benar apa yang diketahui belakangan bahwa Nek Salbiyah bukanlah korban tsunami tapi seorang ibu dari seorang kombatan yang telah tiada, inilah informasi yang banyak kita sadari tapi seakan luput dan selesai ketika disesuaikan dengan kalimat; konsekuensi logis dari konflik yang berkepanjangan. Daya gagah tulisan dibandingkan lisan dalam pelaporan menyangkut banyak hal akan tetap seperti yang tereja. Bagaimanakah kelanjutannya, kita hanya bisa mengharapkan adanya orang-orang yang telah dipercayakan pada penanggulangan bencana-bencana serupa ini untuk turun tangan serta kaki sekalian.


    Tapi, terus-terang, saya tidak menemukan banyak hal mengapa Aceh seakan-akan lebih punya hubungan emosional dengan Sunda di samping saudara sepulau jawanya. Saya kira penulis harus menanyakan pendapat-pendapat orang Aceh lebih banyak lagi baru kemudian menyimpulkan mengeni perihal urang Sunda di mata ureueng Aceh. Saya sendiri berpendapat bahwa orang Aceh umumnya menganggap Sunda itu Jawa. Dan mengapa orang Sunda merasa adanya hubungan emosional pada orang Aceh, barangkali karena perasaan senasib yang diakibatkan oleh adanya peperangan antara Kejaraan Majapahit versus Kerajaan Pajajaran pada masa orang-orang di pulau padi (sebutan untuk pulau Jawa) masih beragama Hindu dan Budha.


    Penghormatan sebagai petanda honorific “Eyang Ratu” dipersembahkan kepada Pahlawan wanita Cut Nya Dien yang dipusarakan di Gunung Puyuh Kabupaten Sumedang. Para wanita Sunda yang berjiwa heroik selalu menyambangi pusara beliau dengan rasa hormat yang teramat tinggi. Apakah karena itu, pasukan dari Kodam Siliwangi bisa diterima ketika terjun ke Aceh?


    Beberapa catatan tentang Cut Nyak Dhien yang dimakamkan di Sumedang saya kira biasa-biasa saja. Bahkan saya cenderung khawatir terhadap kinerja editorial buku ini ketika dalam tulisan Cut Nyak Dien Eyang Ratu Urang Sunda tercatat -Ayahnya syahid dalam pertempuran di Gle Tarum 29 Juni 1070- salah dan amat mengkhawatirkan sebagai sebuah dokumen sejarah. Tapi untungnya diikuti oleh catatan peristiwa-peristiwa yang lain semisal ultimatum perang dari Belanda kepada Kerajaan Aceh Darussalam pada tanggal 1 April 1873 oleh F. N. Niewenhuyzen, Teuku Umar gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.


    Dalam bab III, di mana bahasan menguar rekonstruksi dan perdamaian juga seperti dilimbungi, disamar-samarkan. Saya merasa bagian ini sengaja difiktikan ketika dalam tulisan Kun Payah Kun-mengingatkan saya bagaimana pola kerja wartawan selama ini di lapangan yang tidak bisa ditoleransikan-ketika kepala BRR memberikan amplop yang berisi tiga berlian berkilau dan dua permen lolypop warna biru tapi ujung-ujungnya ternyata mimpi. Lalu kemudian, tahu-tahu langsung terhubungkan dengan kondisi nyata bahwa Jurnalis Aceh menolak peralatan kesekretariatan yang diserahkan Juanda Jamal, orang di bagian komunikasi BRR.


    Saya akui, walaupun saya sendiri belum menulis satu buku pun, meski terlajur melahap sampai habis isi buku ini, saya harus jujur saya tidak cukup tertarik dengan buku ini. Anda beda pendapat dengan saya? silakan itu hak anda!



    Sudah saatnya pengidentikkan Aceh dengan tipu yang selalu dikatakan mahsyur itu dihapus pelan-pelan. Konon lagi bersebab, bagaimana Jakarta yang mahsyur menipu Aceh saban sabè, dari pelabelan Aceh sebagai daerah yang istimewa (aleh peu-peu mantöng istimewa), pemberian otonomi daerah yang hanya tertulis nan rapi itu dan disebut undang-undang, dan bagaimana kebijakan-kebijakan pusat untuk Aceh yang dimacetkan, seolah-olah terbenam di kepala kita; bagi saya han èk takhèm le.


    Anda boleh percaya atau tidak kata-kata saya; saya tidak peduli. Saya sama sekali tidak merasakan tatapan mesra urang Sunda dari balik kacamata rayben dalam buku ini. Saya sadar, anda juga akan beda pendapat dengan saya tentang buku ini. Bisa jadi, menurut anda buku ini adalah ‘jembatan emas’ untuk menemukan identitas kita, Ureung Aceh yang sesungguhnya. Sebab, Arif Ramdan menulis apa yang dialaminya, sementara kita mungkin tidak pernah merasakan apa yang dirasakan penulis buku ini. Sebuah pertanyaan klasik pun akan muncul setelah anda membaca buku. Mana bisa seseorang menelanjangi dirinya sendiri? Hanya ‘musuh’ dan orang-orang di luar kita yang tahu kelemahan dan kekurangan kita!


    Penulis Resensi, Alumnus Sekolah Menulis Dokarim, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Unsyiah, dan anggota KOSMA di Banda Aceh. | Tabloid KONTRAS Nomor: 488 | Tahun XI 7 - 13 Mei '09 Lalu
    Assalamu alaikum, Di sudut desa, bernama Maripari, saya dilahirkan. Besar dalam pelukan kabut dan hawa dingin Gunung Talagabodas. Kebiasaanku menulis surat untuk kawan-kawan terdekat sejak SD, perlahan tapi pasti mulai mengantarku ke tepian cita-cita. Meski belum sempurna, karir itu sedang saya bangun. Dari Garut ke Bandung-Bergeser sedikit ke kawasan Bogor. Di Kota Hujan ini, meniti jalan menuju jembatan keinginan. Cileungsi menjadi saksi, pahit getir perjuangan untuk bertahan hidup dengan sabar saya lalui.
    Di sudut kampung, namanya Pasirangin--saya menemukan identitas diri yang sebenarnya. Dari sini pula, banyak mengenal dunia tulis menulis, hingga akhirnya mengantarku di ujung jembatan penantian. 2 Januari 2005, saya terbang ke Aceh. Saat itu, semuanya masih dirundung lara. Aceh baru saja dihempas tsunami. Tidak pernah terbersit sebelumnya untuk menetap di negeri seribu kubah (sebutan lain untuk Serambi Mekkah) ini. Semuanya, mengalir seperti air hingga akhirnya kutemukan cinta di tepi barat negeri Iskandar Muda.= Wassalam ...