Beranda » Abu Thalib Seorang Muslim?

Abu Thalib Seorang Muslim?






Kini ia memasuki masa-masa kritis di penghujung hidupnya. Tak ada yang tahu, apakah ia akan berubah pikiran atau tidak. Maka, berjalanlah Rasulullah صلى الله عليه وسلم menghampirinya.

Disebutkan dalam Shahih Bukhari bahwasanya Said bin Al-Musayyab bercerita bahwa ayahnya bertutur, “Tatkala Abu Thalib akan meninggal dunia, datanglah Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepadanya dan pada saat itu ‘Abdullah bin Umayyah serta Abu Jahl berada di sisinya. Maka beliau mulai bersabda kepadanya, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah ‘Laa ilaaha illallah’ suatu kalimat yang dapat aku jadikan bukti untuk membelamu di hadapan Allah. ‘

Namun itu disambut oleh ‘Abdullah bin Umayyah serta Abu Jahl, “Apakah kamu (Abu Thalib)membenci agama Abdul muththalib? “


Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم mengulangi lagi sabdanya, akan tetapi mereka berdua pun mengulang-ulangi lagi perkataan yang telah mereka sebutkan sebelumnya.

Akhirnya, kata yang diucapkan di penghujung hidupnya adalah bahwasanya ia tetap di dalam agama Abdul muththalib dan enggan mengucapkan “Laa ilaaha illallah”

Maka Nabi صلى الله عليه وسلم pun bersabda, “Sungguh, aku akan mintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang. “

Allah عز وجل pun menurunkan firman-Nya:

“Tidaklah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. ” (QS. At-Taubah: 113)

Dan mengenai Abu Thalib, Allah عز وجل menurunkan firman-Nya:

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki…” (QS. Al-Qashshash: 56)

Dari atsar di atas terdapat beberapa faidah:

1. Hidayah hanya di tangan Allah semata.

Seorang insan sanggup mengeluarkan segala kemampuannya untuk menunjukkan kebenaran kepada orang lain. Akan tetapi, yang bisa menentukan apakah orang yang diarahkan tersebut mau menerima kebenaran atau tidak adalah hanya Allah saja.

Karena itu, tak ada seorang pun yang sanggup menjadikan orang lain menerima hidayah. Sama saja, apakah ia seorang Nabi, orang saleh atau siapapun yang memiliki kedudukan yang tinggi dan dekat di sisi Allah عز وجل. Apalagi seorang pendosa, penjahat dan orang yang memiliki kedudukan yang amat jauh di sisi-Nya tentunya!

2. Terlarangnya memintakan ampunan kepada Allah عز وجل bagi orang yang mati dalam kekafiran dan kemusyrikan.

Dan ini diperkuat pula oleh ayat-ayat lain:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar. ” (QS. An-Nisa: 48)


“Sesungguhnya orang-orang kafir dan (yang) menghalangi manusia dari jalan Allah Kemudian mereka mati dalam keadaan kafir, Maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampun kepada mereka. ” (QS. Muhammad: 34)

3. Abu Thalib mati dalam keadaan musyrik dan kufur kepada Allah عز وجل.

Ini merupakan bantahan bagi sekte Syiah yang berpendapat bahwa Abu Thalib meninggal dalam keadaan telah masuk islam.

Abbas bin ‘Abdul Muththalib bertanya kepada Nabi صلی الله عليه وسلم : “Apakah engkau tidak bisa memberi manfaat kepada pamanmu, Abu Thalib, padahal dialah yang melindungimu dan berkorban untukmu? ” Beliau bersabda, “Ya, ia berada di neraka yang paling ringan, andai saja bukan karena (syafaat)ku, niscaya ia sudah berada di neraka yang paling bawah. ” (HR. Bukhari dan Muslim)


4. Bahayanya berteman dekat dengan orang-orang yang mempunyai pemikiran dan perilaku yang buruk.

Disukai atau tidak dan disadari atau tidak, teman, dengan berbagai karakternya, sedikit-banyak memengaruhi seseorang atau mewarnainya.

Teman yang baik, suatu waktu berbuat baik kepada seseorang, atau orang tersebut meniru kebaikannya atau ia terpengaruh dengan kebaikannya.

Adapun teman yang jahat, suatu waktu berbuat jahat kepada seseorang, atau orang tersebut meniru kejahatannya atau ia terpengaruh dengan kejahatannya.


Dan itulah yang dialami oleh Abu Thalib. Kedua temannya ternyata bisa memengaruhinya sehingga membuatnya tidak menghiraukan seruan dari keponakannya صلى الله عليه وسلم yang selama ini ia cintai dan ia bela. Akhirnya, ia enggan untuk mengucapkan “Laa ilaaha illallah”. Maka, jadilah ia mati di atas kekufuran dan kemusyrikan. Jadilah ia penghuni neraka jahannam kekal selama-lamanya. Jadilah ia sengsara berkepanjangan. Sungguh, kedua temannya benar-benar jahat! Sungguh, mereka berdua telah mencelakakannya!

Karena itu, tidaklah salah bila Nabi صلى الله عليه وسلم kita bersabda, “Seseorang itu berada dalam agama temannya. Oleh karena itu, hendaklah dilihat siapa yang menjadi teman kalian. ” (HR. Ahmad)

Maka, hati-hatilah dalam memilih teman!

Jakarta, 3 Dzulqa’dah 1432/1 Oktober 2011
Anung