Beranda » 100 Tahun Revolusi Xinhai

100 Tahun Revolusi Xinhai



Pemberontakan Sekte Teratai Putih 1796-1804

Perang Candu I 1839-1842

Pemberontakan Taiping 1851-1864

Pemberontakan Panthay 1856-1873

Perang Candu II 1856-1860

Pemberontakan Dungan I 1862-1877

Pemberontakan Nien 1864-1869

Perang Sino-Perancis 1884-1885Perang Sino-Jepang 1894-1895

Pemberontakan Dungan II 1895-1896

Pemberontakan Boxer 1899-1901

Pemberontakan Wu Chang 1911

10 Oktober ini adalah Peringatan 100 Tahun Revolusi Xinhai. Xinhai adalah nama tahun dalam penanggalan Kalender China saat dilaksanakannya revolusi ini, yaitu tahun 1911. Gerakan revolusi berakhir dengan runtuhnya Dinasti Qing yang berkuasa dari 1644 pada 12 Februari 1912.

Sekilas berikut adalah sebab-sebab kemunduran Dinasti Qing yang pada akhirnya memicu terjadinya revolusi.

1. 1. Perang dalam negeri (pemberontakan) maupun invasi negara asing yang terjadi nyaris berentetan dalam kurun waktu 100 tahun sebelum kejatuhan Dinasti Qing.
Rentetan diawali dengan kekalahan Dinasti Qing pada Perang Candu I (1839-1842) yang sebelumnya didahului trade imbalance antara Kerajaan Inggris dengan Dinasti Qing. Kerajaan Inggris berusaha menyiasati kerugian dengan memperdagangkan candu yang akhirnya menjadi nama militer konflik terbuka antara dua kekuatan ini.

Sebagai pecundang, menurut Perjanjian Nanking, Pemerintah Qing diharuskan membayar total 21 juta dollar dan dikenakan bunga 5% per tahun jika tidak mencicil tepat waktu. Termasuk juga menjadikan Hong Kong sebagai koloni Kerajaan Inggris.


Perang Candu I berakhir hanya untuk disambung dengan Pemberontakan Taiping (1851-1864) yang semakin melemahkan Dinasti Qing. Untuk diketahui, ini adalah perang dengan korban terbanyak untuk abad 19. Pemerinatahan Kaisar Xianfeng (1850-1861) bahkan didominasi oleh pemberontakan ini. Sang Kaisar tidak memiliki cukup umur untuk menyaksikan pemberontakan ini ditumpas tuntas.


Perang seakan-akan melepas rindu dengan Dinasti Qing. Dalam kurun waktu pemberontakan Taiping, muncul pemberontakan lain seperti : Pemberontakan Panthay (1856-1873) dan Pemberontakan Dungan I (1862-1877). Tak ketinggalan juga Perang Candu II (1856-1860)


Walaupun pemberontakan demi pemberontakan bisa ditumpas, tapi kondisi Dinasti makin lemah. Dinasti Qing lagi-lagi harus membayar kerugian perang karena lagi-lagi kalah pada Perang Candu II. Salah satu yang harus dipenuhi pada Perjanjian Tianjin adalah harus membayar 2 juta tael kepada masing-masing Kerajaan Inggris dan Perancis. Selain itu harus membayar 3 juta tael untuk kerugian Pedagang Inggris.


Ganti rugi terbesar diwajibkan Perjanjian Shimonoseki setelah Dinasti Qing kalah dalam Perang Sino Jepang (1894-1895) yaitu sebesar 340,000,000 tael atau sama dengan 13,600 ton batangan perak. Ini senilai dengan 510,000,000 yen, setara dengan 6.4 kali pemasukan Pemerintah Jepang saat itu.

2. 2. Belajar dari kekalahan. Itulah langkah yang diambil Dinasti Qing setelah melihat kenyataan bobroknya kekuatan mereka saat menghadapi Pemberontakan Taiping dan 2 kali Perang Candu. Tak lama setelah Kaisar Tongzhi naik tahta untuk menggantikan Kaisar Xianfeng, pada tahun yang sama 1861, dimulailah gerakan modernisasi dengan mempelajari dan mencontoh kemajuan Negara-negara Eropa yang digagas oleh Paman Raja Gong. (Beliau adalah adik tiri dari Kaisar Xianfeng, yang berarti paman dari kaisar Tongzhi).

Sampai tahun 1895, modernisasi yang dilaksanakan meliputi berbagai bidang seperti kemiliteran (pelatihan, persenjataan, struktur, taktik dsb), bidang tarif dagang, komunikasi, perkapalan, perkereta-apian, produksi, pendidikan


Yang perlu ditekankan adalah efek pada modernisasi pendidikan. Di masa inilah untuk pertama kalinya, pihak dinasti mensponsori pengiriman pelajar untuk belajar di luar negeri. Inilah kesempatan untuk belajar langsung pada Negara-negara Barat dan setelah pulang, menerapkannya untuk me-modernisasi Dinasti Qing.


Pada prosesnya usaha ini bukan tanpa halangan. Kaum konfusianis konservatif masih menganggap bahwa China tidak perlu jalan ala Barat untuk mencapai kejayaan. Tidak tanggung-tanggung, kaum pro modernisasi harus menghadapi penyokong konfusianis konservatif yaitu Ibu Suri Cixi (Istri dari Kaisar Xianfeng, yang berarti Ibu kandung Kaisar Tongzhi)

Ironisnya, yang menyebabkan modernisasi ini gagal bukan perlawanan dari Konfusianis Konservatif tapi KORUPSI dan NEPOTISME yang sudah amat sangat kronis. Gerogotan korupsi dan gangguan nepotisme membantu mewujudkan kekalahan total angkatan laut hasil modernisasi (yang disebut Angkatan Laut Beiyang) pada perang Sino-Jepang

3. 3. Sentimen anti Manchu muncul kembali. Sejak Dinasti Qing berkuasa di China, rakyat masih menggangap bahwa orang Han dipimpin oleh orang Manchu. Walaupun ada usaha untuk membaurkan etnis Han dengan etnis Manchu, hasilnya masih tidak menonjol. Malah setelah menyaksikan kekalahan bertubi-tubi, keinginan untuk memimpin diri sendiri bagi etnis Han, makin kuat.


Namun setelah menyadari bahwa persoalan bukan pada dari etnis mana yang memerintah melainkan dari efektif tidaknya pemerintahan, sentimen ini beralih menjadi pemicu revolusi untuk menggulingkan sistem dinasti feodal.


4. 4. Gerakan modernisasi berlangsung sampai tahun 1895 atau 20 tahun setelah Kaisar Tongzhi magkat pada usia 19 tahun kurang 3.5 bulan. Kaisar penerusnya, yaitu Kaisar Guangxu, adalah seorang yang pro modernisasi, sekaligus bertolak-belakang dengan Ibu Suri Tiri, Cixi, yang notebene pemegang kekuasaan yang sesungguhnya.



Kaisar Guangxu memiliki program reformasi singkat (hanya berumur 104 hari) yang berakhir dengan kegagalan. Akibat terburuknya adalah Sang Kaisar dijadikan tawanan rumah oleh Ibu Suri Cixi. Tidak cukup sampai di sana. Ibu Suri Cixi yang memasuki usia senja cemas kalau setelah dirinya meninggal, Kaisar Guangxu akan meneruskan reformasi. Belakangan, setelah diteliti dengan ilmu forensik modern pada tahun 2008, diketahui bahwa kematian Kaisar Guangxu yang hanya berjarak 1 hari sebelum kematian Ibu Suri Cixi adalah karena diracun arsenic


Untuk diketahui, kedua Kaisar (Tongzhi dan Guangxu) memiliki kesamaan yaitu naik tahta pada usia anak-anak (masing-masing 5 tahun dan 4 tahun). Selain itu, mereka berdua di bawah pengawasan ketat Ibu Suri Cixi.


Namanya saja sudah revolusi, maka ada tokoh-tokoh revolusioner yang mempelopori pergerakan ini. Salah satunya adalah Sun De Ming. Tunggu, bukannya Sun Yat Sen ? Baik, saya berikan info mengenai nama-nama lain dari Sun De Ming di link ini : (http://en.wikipedia.org/wiki/Names_of_Sun_Yat-sen)


Akhirnya diketahui bahwa nama Sun Yat Sen adalah nama yang dikenal di dunia barat, sedangkan Sun Zhong Shan adalah nama yang dikenal di China dan Taiwan. Keduanya menunjuk ke orang yang sama


Sun Wen dilahirkan pada 12 November 1866 di Xiangshan county, Perfektur Guangzhou, Propinsi Guangdong. Masa kecilnya dihabiskan di lingkungan desa kelahirannya. Pada usia 13 tahun, dia dikirim ke Honolulu untuk hidup dengan kakaknya Sun Mei. Silahkan lihat silsilah Sun Yat Sen di link ini: (http://en.wikipedia.org/wiki/Family_tree_of_Sun_Yat-sen)


Tahun 1883, Beliau kembali ke China. Pasca insiden perusakan patung di kuil desa, berikut dengan temannya, beliau melarikan diri ke Hong Kong. Selama di Hong Kong inilah beliau mulai terlibat dengan gerakan revolusi. Awalnya beliau bergabung dengan Furen Literary Society yang bertujuan menggulingkan Dinasti Qing. Tahun 1894 beliau menuliskan petisi untuk Perdana Menteri Li Hong Zhang dan sampaikan langsung secara pribadi tapi tidak pernah ditanggapi. Karena kecewa akan hal ini, pada 1894 sekali lagi beliau pergi ke Honolulu untuk membentuk Revive China Society. Furen Literary Society akhirnya bergabung dengan Revive China Society Cabang Hong Kong.


Sebelum Revolusi Xin Hai, Revive China Society sudah 10 kali mencetuskan gerakan pemberontakan yang berakhir dengan kegagalan. Selain menjadi buronan dan pelarian, beliau masih harus menghadapi sentiment anti-Sun yang bermaksud menurunkan dirinya. Sumber dalam bahasa mandarin : http://zh.wikipedia.org/wiki/%E5%AD%AB%E4%B8%AD%E5%B1%B1



Revolusi Xin Hai sendiri berlangsung secara mendadak. Revolusi yang tidak direncanakan ini (bahkan oleh Sun Yat Sen sendiri) terjadi karena adanya insiden ledakan saat kelompok revolusioner di Kota Wu Chang (Propinsi Hubei) membuat peledak. Pihak berwenang segera menyelidiki insiden ini. Kaum revolusioner yang merasa kepalang basah segera menyatakan gerakan revolusi.


Tanpa disangka kota jatuh dalam waktu 1 hari. Secepat itu kota jatuh, secepat itu juga datang reaksi dari Dinasti Qing. Pasukan penumpas pemberontakan, yaitu Tentara Bei Yang, sudah diutus untuk segera berangkat. Namun, karena kekalahan di pertempuran pertama, Dinasti Qing memutuskan untuk memulihkan Yuan Shi Kai, yang sebelumnya dipensiunkan, untuk kembali menjabat sebagai Jendral Tentara Bei Yang. Bagi kaum pemberontak kemenangan / bertahan pada tiap pertempuran berbuah manis dengan semakin banyaknya propinsi lain mengikutkan diri dalam revolusi dan datangnya bantuan dari propinsi lain. Untuk jalannya pertempuran penumpasan bisa dilihat di : (http://en.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Yangxia)


Pada akhirnya kaum revolusioner mampu bertahan selama 41 hari pertempuran (18 oktober 1911 s/d 27 November 1911). Selama jangka waktu ini, sebanyak 13 propinsi lain (dari total 18 propinsi) menyatakan lepas dari Dinasi Qing. Secara keseluruhan, kedua pihak terjebak dalam kondisi stalemate. Pihak Dinasti berhasil menekan kaum revolusioner di Wu Chang dan sekitarnya, tapi semakin banyak propinsi lain yang bergabung untuk melepaskan diri dari kekuasaan dinasti.


Yuan Shi Kai akhirnya memutuskan gencatan senjata untuk berunding dengan pihak revolusioner. Praktis selama Desember 1911, adalah bulan gencatan senjata yang juga menandai fase perjuangan secara politik.


Sun Yat Sen kembali dari pengasingan pada 25 Desember 1911. Tanggal 29 Desember 1911, Sun Yat Sen terpilih sebagai Provisional President dan menyatakan bahwa 1 Januari 1912 sebagai Hari Pertama Pemerintahan Republik / berdirinya Republik.


Republik yang baru berdiri ini adalah republik tanpa kekuatan militer. Oleh karena itu, terjadi perundingan antara Pihak revolusioner dengan Yuan Shi Kai. Pihak Republik bersedia menyerahkan jabatan presiden kepada Yuan Shi Kai dengan syarat, Yuan Shi Kai mengatur mundurnya Kaisar Pu Yi. Masing-masing pihak melaksanakan janjinya masing-masing. Kaisar Pu Yi mundur pada 12 Februari 1912 dan Yuan Shi Kai terpilih sebagai Provisional Presiden pada 14 Februari 1911 dan dilantik pada 10 Maret 1911.

Rick Matthew